Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Ilustrasi Dilema Dunia Pendidikan

Dilema Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan di Indonesia sedang dilanda ekses privatisasi dan komersialisasi. Fenomena akhir-akhir ini menunjukkan urusan pendidikan lebih banyak dikendalikan korporasi (market-led) daripada negara (state-led). Hal ini misalnya terlihat pada berjamurnya sekolah-sekolah swasta di seluruh pelosok Indonesia.

Masifnya pendirian sekolah swasta ini berbanding terbalik dengan era Orde Baru. Meskipun keberadaan sekolah swasta pada periode Orde Baru sudah ada seperti Sekolah Swasta Katolik, Sekolah Swasta Islam, dan Sekolah Swasta Kristen, jumlahnya masih terbatas karena diatur oleh negara. Kontrol negara terhadap desain pembelajaran, substansi hingga aktivitas di dalam ruang kelas pun masih cukup besar.

Kedua trend di atas menampilkan potret kontras dan eksesif. Di satu sisi, terjadi komersialisasi dunia pendidikan oleh pihak swasta. Di sisi lain, intervensi negara berlebihan terhadap substansi dan metode pembelajaran dapat menghilangkan independensi dunia pendidikan. Jika demikian, bagaimana seharusnya kibat dunia pendidikan Indonesia ke depan?

Komodifikasi dan Otoritarianisme

Pelibatan pihak swasta dalam mengurus sekolah-sekolah di Indonesia bermula dari krisis moneter yang menimpa Indonesia pada 1998. Krisis tersebut sangat berdampak pada stabilitas ekonomi negara. Semua sektor kehidupan bangsa mengalami guncangan serius, termasuk sektor pelayanan pendidikan. Anggaran negara untuk pendidikan mengalami pengurangan signifikan. Karena itu, negara harus berkolaborasi dengan pihak swasta untuk turut mengurus layanan publik dasar seperti pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Semula pelibatan ini direspons positif karena mampu mengurangi beban keuangan negara, tetapi lambat laun negara menjadi kehilangan kendali terhadap seluruh proses pelembagaan dan pengembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Privatisasi dunia pendidikan ini semakin massif pasca fajar Reformasi menyingsing. Negara perlahan kehilangan peran dan kekuatan dalam mengatur rumah tangga pendidikan swasta. Tidak hanya itu, negara bahkan dikontrol oleh swasta dalam mendesain kebijakan pendidikan Indonesia. Hal ini misalnya tampak pada kenaikan biaya pendidikan yang semakin tidak terkontrol.

Konsekuensi dari ekses intervensi pihak swasta terhadap dunia pendidikan adalah komersialisasi edukasi. Proses danoutcomelembaga pendidikan diarahkan semata sebagai komoditas pasar yang siap dipakai. Meskipun begitu, solusi terhadap ekses privatisasi pendidikan tidak dengan membiarkan negara mengatur dunia pendidikan seluruhnya.

Hegemoni urusan pendidikan oleh negara hanya akan memproduksi masalah baru, yakni otoritarianisme. Hal ini kelihatan selama Orde Baru. Buku sejarah secara manipulatif menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan, alih-alih mencerminkan fakta sebenarnya Soeharto sebagai presiden tiran yang telah membantai banyak orang untuk kelanggengan agenda kekuasaannya. Nilai demokrasi disensor dan dimanipulasi dengan propaganda “Asian Values” yang selaras dengan kepentingan politik Soeharto (Robison, 1996; Bahrul Ulum & Aliyan Hamida, 2018).

Dari segi ekonomi, intervensi negara berlebihan juga justru menimbulkan ketimpangan antara sekolah negeri dan swasta. Cara negara menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia tidak seharusnya dengan menyediakan begitu banyak fasilitas untuk sekolah negeri dan menelantarkan sekolah swasta. Lantas, bagaimana seharusnya manajemen dunia pendidikan Indonesia?

Kompetisi dan Independensi

Esensi pendidikan adalah membantu peserta didik mencapai kepenuhan potensi dirinya (Magnis Suseno, 2018). Indonesia menginstitusionalisasi tujuan mulia ini di dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003, mengembangkan “potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Singkat kata, tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk mengoptimalkan tujuan pendidikan nasional ini diperlukan dua prinsip dasar, yakni kompetisi dan independensi. Supaya peserta didik berkembang secara menyeluruh, ia memerlukan kemerdekaan belajar. Daya kritis dan kekuatan nurani hanya dapat diasah dan diasuh ketika peserta didik memiliki kebebasan dan kemandirian dalam belajar.

Optimalisasi perkembangan peserta didik tidak hanya ditakar dari kecerdasan intelektual, emosional, dan moral dirinya, tetapi juga seberapa cepat ia belajar. Kecerdasan tampak melalui kedalaman dan kecepatan belajar, entah di dalam berpikir, mengolah rasa, dan mengekspresikan diri. Di sini letak pentingnya daya saing. Kompetisi dapat mempercepat laju belajar peserta didik di dalam kelas, di level daerah, regio, nasional, bahkan internasional.

Kedua prinsip dasar ini dapat dipasok oleh negara dan pihak swasta melalui kolaborasi konstruktif, tanpa keduanya saling menegasikan. Bagaimana caranya? Intervensi negara terhadap dunia pendidikan hanya sebatas menyediakan infrastruktur keras dan lunak seperti fasilitas sekolah dan guru yang berkualitas. Hal ini didasarkan pada pendidikan sebagai “public good” yang menjadi tanggung jawab negara (Cowen, 1991, 2007). Pasal 31 ayat 4 UUD 1945, hasil amandemen keempat, mengamanatkan 20% anggaran pendidikan dari APBN.

Di dalam sistem demokrasi, negara tidak boleh mengintervensi bahan ajaran dunia pendidikan untuk mencegah otoritarianisme dan paternalisme merangsek masuk ke dalam lingkungan sekolah sekaligus merawat kebebasan berpikir, kemajuan riset dan pengembangan. Tentu saja dunia pendidikan tidak lantas menjerumuskan peserta didik ke dalam terorisme dan distorsi moralitas selama kebebasan berpikir dan bernurani sungguh dibentuk, termasuk ajaran agama harus dikritisi sebelum diamini.

Di sisi lain, pihak swasta dengan logika pasar dapat memacu semangat kompetisi di dalam dunia pendidikan tanpa mengganggu bahan ajaran sekolah. Dunia pasar dan pendidikan sebenarnya tidak langsung terhubung lantaran pasar membutuhkan keterampilan teknis yang lebih mudah disediakan lembaga kursus dan pelatihan, sedangkan sekolah mendidik pelajar untuk berpikir kritis, mengolah rasa dan berperilaku adab (Latif, 2020).

Pasar hanya bisa memacu siswa untuk belajar lewat insentif berdaya saing dan meritokrasi. Pasar lebih kompeten dalam mendidik siswa menjadi individu berkapabilitas daripada negara karena negara diisi oleh politisi yang didorong visi jangka pendek (self-driven interest). Sementara itu, pebisnis berorientasi jauh ke depan lantaran investasi yang menguntungkan harus selalu berjangka panjang (R. Lee, 2010).

Untuk itu, sebagai analis kebijakan pendidikan, saya memandang perlu untuk membatasi intervensi pasar terhadap dunia pendidikan untuk mencegah privatisasi dan komersialisasi. Namun, intervensi negara juga harus dibatasi untuk merawat kemandirian berpikir dan kebebasan intelektual para peserta didik.