Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang, Jawa Tengah, menolak tegas wacana penunjukan guru sebagai tester MBG sebelum dibagikan kepada siswa. Penolakan ini muncul di tengah maraknya kasus dugaan keracunan MBG di berbagai daerah, dengan alasan utama risiko keselamatan guru dan penambahan beban kerja yang tidak relevan.
Ketua PGRI Semarang, Prof. Nur Khoiri, menegaskan bahwa nyawa manusia tidak bisa dijadikan bahan percobaan. Polemik ini mencuat sejak akhir September 2025, setelah konferensi pers Badan Gizi Nasional (BGN) yang memperkenalkan Standar Operasional Prosedur (SOP) baru.
Latar Belakang Wacana Pengujian MBG
Wacana penunjukan guru sebagai tester MBG berawal dari SOP baru yang disusun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melalui Badan Gizi Nasional (BGN). SOP tersebut mewajibkan uji organoleptik, yaitu melihat, mencium, dan mencicipi makanan, sebelum paket MBG disajikan kepada siswa. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan, menyusul sejumlah kasus yang terjadi sejak peluncuran program nasional pada awal 2025.
Di Kota Semarang, Kepala Dinas Pendidikan Bambang Pramusinto mengonfirmasi penerapan SOP ini secara lokal pada Kamis, 2 Oktober 2025, dengan menunjuk guru sebagai Person in Charge (PIC) untuk melakukan pengecekan ulang di sekolah. Namun, ia menegaskan bahwa peran guru terbatas pada koordinasi administrasi serta proses check and recheck, bukan sebagai penguji utama.
Baca Juga: Korban Keracunan MBG di Sragen Bertambah Jadi 365 Orang
“Kalau yang mengetes kesehatan makanannya, itu sudah petugas khusus di SPPG. Tapi ketika sudah didistribusikan sampai ke sekolah, kan ada PIC. Dia koordinasi dengan koordinator SPPG. PIC ini sifatnya hanya check and recheck,” jelas Bambang, dikutip dari Tribun Jateng.
Penolakan dari PGRI dan Organisasi Guru
Ketua PGRI Kota Semarang, Prof. Nur Khoiri, menolak keras wacana penunjukan guru sebagai tester MBG pada Jumat, 3 Oktober 2025. Ia menilai kebijakan tersebut berisiko terhadap keselamatan guru dan menambah beban kerja yang sudah berat.
“Nyawa manusia tidak bisa dijadikan percobaan. Jika makanan yang dikonsumsi ternyata tidak sehat, hal ini bisa membahayakan para guru,” tegas Khoiri. Ia juga menyayangkan pelimpahan tanggung jawab pengawasan kepada guru, yang seharusnya fokus pada mengajar, mendidik, dan membimbing siswa. Menurutnya, jika terjadi kasus keracunan, masyarakat kerap menyalahkan pihak sekolah, padahal guru hanya bertugas menerima dan mendistribusikan makanan.
“Guru itu kasihan. Mereka harus turut serta menyukseskan program tapi kalau ada permasalahan, misalnya kasus keracunan, masyarakat tahunya ke sekolah. Guru yang akan ditarik-tarik tanggung jawabnya,” ujarnya.
Usulan Alternatif Pengawasan
Daripada menjadikan guru sebagai tester MBG, Prof. Nur Khoiri mengusulkan penerapan SOP sederhana tanpa mencicipi langsung, seperti memeriksa bau, tekstur, warna, atau tanda fisik lain yang menunjukkan kelayakan makanan. “Langkah-langkah sederhana semacam itu jauh lebih masuk akal ketimbang menjadikan guru sebagai kelinci percobaan,” ujarnya.
Ia juga mendorong pelibatan komite sekolah sebagai representasi masyarakat untuk memastikan pengawasan yang lebih objektif, sehingga beban tidak sepenuhnya ditanggung guru. “Pelibatan komite penting agar ada kontrol dari masyarakat. Jangan semua dibebankan ke guru. Guru biar fokus mengajar,” tambahnya.
Khoiri menambahkan, beberapa sekolah swasta di Semarang bahkan memilih menolak program MBG sepenuhnya karena para orang tua lebih percaya pada makanan dari kantin sekolah yang dianggap lebih higienis. “Yang saya tahu ada tiga sekolah swasta menolak. Mereka memilih jalur sendiri karena lebih yakin dengan kebersihannya,” ungkapnya.
Menurutnya, kasus keracunan umumnya disebabkan oleh proses pengolahan dan distribusi yang tergesa-gesa, bukan karena rasa makanan itu sendiri. Karena itu, ia menilai pengawasan eksternal perlu diperkuat agar program MBG berjalan aman dan terpercaya.
Respons Pemerintah Kota dan Langkah Antisipasi
Pemerintah Kota Semarang merespons polemik ini dengan membentuk Satgas Pengawasan Makanan yang dipimpin oleh Wakil Wali Kota Iswar Aminuddin, serta melibatkan Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan, dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Menurut Bambang Pramusinto, pengawasan dilakukan secara berlapis, mulai dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) hingga sekolah dengan kewajiban memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk memastikan standar kebersihan dan keamanan pangan.
“Ini SOP baru, langkah antisipasi agar keamanan makanan lebih terjamin meski di Semarang sendiri belum ada kasus keracunan MBG,” jelas Bambang pada Kamis, 2 Oktober 2025.
Baca Juga: Arah Kebijakan Tak Terintegrasi, Sampah Tak Tertangani
Dengan munculnya penolakan dari kalangan guru dan pembentukan satgas oleh pemerintah, diharapkan SOP dapat direvisi agar lebih memperhatikan aspek keselamatan guru tanpa menghambat kelancaran program nasional. Polemik ini juga mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang beban kerja pendidik di tengah berbagai inisiatif pemerintah, sekaligus menjadi pengingat agar masyarakat tidak menyepelekan risiko kesehatan, meskipun kasus keracunan masih relatif kecil secara statistik.