Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Jumat (3/10/2025) merilis pembaruan data terkait runtuhnya bangunan Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Insiden yang terjadi pada Senin (29/9/2025) itu menewaskan sedikitnya delapan orang, sementara puluhan lainnya masih dalam pencarian. Tragedi ini menuai sorotan tajam, mulai dari dugaan kegagalan teknologi konstruksi, ketiadaan izin mendirikan bangunan (IMB), hingga kemungkinan kelalaian pihak pengelola dan kontraktor.
Kronologi Kejadian
Peristiwa tragis ini bermula pada Senin pagi (29/9/2025), ketika proses pengecoran lantai empat atau dek atas Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, tengah berlangsung. Menurut pengasuh ponpes, KH Abdus Salam Mujib, pembangunan telah berjalan sekitar sembilan hingga sepuluh bulan. Pengecoran terakhir diperkirakan rampung dalam empat hingga lima jam, atau sekitar pukul 12.00 WIB.
Namun sekitar pukul 15.00 WIB, saat ratusan santri tengah melaksanakan salat Asar berjemaah di lantai dasar, tiang pondasi diduga gagal menahan beban pengecoran. Bangunan tiga lantai dengan tambahan dek atas itu runtuh seketika sehingga menimbun puluhan santri dan pekerja di bawah bongkahan beton.
Baca Juga: Srawung Demokrasi #2 Potensi dan Tantangan Waste to Energy
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyebut insiden ini sebagai bencana kegagalan yang seharusnya bisa dicegah dengan standar keselamatan konstruksi yang ketat. “Masyarakat dan pengelola bangunan bertingkat diimbau untuk memastikan pengawasan teknis pembangunan agar kejadian serupa dapat dicegah di masa mendatang,” ungkapnya sebagaimana dikutip dari detikJatim.
Sementara itu, Pakar Teknik Sipil Struktur ITS, Mudji Irmawan, menyoroti kelalaian penggunaan gedung saat pengecoran masih berlangsung. “Struktur bangunan atau konstruksi bangunan yang sedang dikerjakan tiga lantai tersebut menjadi tidak stabil atau labil. Celakanya di lantai satu masih dipakai untuk kegiatan belajar, ngaji,” tegasnya.
Faktor Penyebab Runtuhnya Ponpes Al Khoziny
1. Perencanaan Teknis Buruk
Menurut Mudji Irmawan, bangunan awalnya hanya direncanakan satu lantai. Namun, karena jumlah santri bertambah, pembangunan dipaksakan hingga tiga lantai plus dek atap tanpa perencanaan teknis matang. Akibatnya, beban struktur melonjak drastis dari kapasitas awal 100% menjadi 200–300%, hingga tidak mampu menahan tekanan. “Itu menyebabkan salah satu faktor utama yang membuat bangunan lantai satu, lantai dua tidak cukup mampu menerima beban yang ada di kerja,” jelas Mudji.
2. Kelalaian Kontraktor dan Pengurus Ponpes
Kelalaian juga ditengarai ada pada kontraktor dan pengurus ponpes. Kontraktor dinilai tidak memiliki pengalaman dan kemampuan teknis memadai, sementara pengurus tetap memaksa pembangunan tanpa perhitungan risiko. “Ya, tentunya (kelalaian) kontraktor, kalau menurut Undang Undang Jasa Konstruksi juga harus punya pengalaman, punya ahli, punya alat yang cukup, sehingga bisa memikirkan, ‘oh, ini enggak kuat, oh ini kuat’ dan sebagainya,” lanjut Mudji.
3. Pembangunan Tidak Sesuai Standar
Kepala Subdirektorat Pengarahan dan Pengendalian Operasi Bencana (RPDO) Basarnas, Emi Freezer, menjelaskan bahwa beban utama reruntuhan menekan bagian tengah gedung hingga menghalangi jalur penyelamatan.
Ia juga menyoroti bentuk kolom utama bangunan yang menyerupai huruf U, yang menurutnya menjadi tanda ketidaksesuaian standar konstruksi. “Jika konstruksinya baik, maka kalau bangunannya ambruk seharusnya patah, bukan melengkung dan elastis seperti bangunan pondok pesantren ini,” ucap Emi.
Emi menambahkan, elastisitas berlebihan pada kolom menunjukkan struktur bangunan tidak mampu menahan beban secara utuh. Kondisi itu menimbulkan banyak celah sempit atau void yang membuat korban terjebak di dalamnya.
4. Tidak Memiliki IMB
Bangunan diduga tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini diungkap Bupati Sidoarjo, Subandi, saat meninjau lokasi. “Ini saya tanyakan izin-izinnya mana, tetapi ternyata nggak ada, ngecor lantai tiga, karena konstruksi tidak standar, jadi akhirnya roboh,” kata Subandi, Selasa (30/9/2025).
Tim Gabungan Intensifkan Evakuasi
Operasi pencarian dan pertolongan (SAR) memasuki tahap evakuasi korban meninggal pada Kamis (2/10/2025). Penggunaan alat berat baru dilakukan setelah asesmen mendalam memastikan tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di reruntuhan. Tim gabungan yang terdiri dari BPBD Sidoarjo, Basarnas, BPBD Jawa Timur, Forkopimda Sidoarjo, serta relawan dari Surabaya, Gresik, Nganjuk, Mojokerto, dan Jombang terus bekerja dengan fokus pada asesmen lokasi, pemantauan struktur bangunan yang tersisa, dan penyiapan jalur evakuasi.
Baca Juga: Kemlu Buka Suara soal Foto Prabowo di Baliho Israel
Kepala BNPB Letjen Suharyanto bersama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno juga menemui keluarga korban di posko darurat untuk memberikan penjelasan sekaligus dukungan. “Tim SAR gabungan memutuskan untuk masuk ke tahap selanjutnya, yaitu mengevakuasi korban yang sudah meninggal menggunakan alat-alat berat. Keluarga korban sudah sepakat. Mereka sudah menandatangani berita acara,” kata Suharyanto.
Perkembangan Jumlah Korban
Hingga Jumat (3/10/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 108 orang telah berhasil dievakuasi. Dari jumlah tersebut, 30 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit, 73 sudah dipulangkan, dan 5 meninggal dunia. Kepala BNPB Letjen Suharyanto menyebut, jumlah korban meninggal bisa bertambah menjadi 8 setelah evakuasi terbaru.
Saat ini, 58 orang masih dalam pencarian. Proses evakuasi dilakukan secara manual untuk menghindari getaran yang berisiko memperparah kondisi bangunan. Para korban yang masih terjebak diberikan makanan dan minuman melalui celah reruntuhan, sementara keluarga korban menyatakan kesiapan menerima hasil evakuasi dengan lapang dada.