80 tahun usia Republik Indonesia telah diperingati. Begitu pula cita-cita kemerdekaan dalam Konstitusi telah didengungkan berkali-kali melalui visi pemerintahan yang berkuasa. Pidato Prabowo pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 15 Agustus 2025 lalu, menjadi salah satu panggung glorifikasi aneka keberhasilannya. Prabowo bangga menggemborkan capaian pemerintahannya. Tak berselang lama, rakyat membentuk rentetan aksi protes yang menunjukkan kondisi berkebalikan terhadap narasi keberhasilan pemerintah.
Banyak analisis justru memperlihatkan aneka kegagalan dari rezim. Misalnya, laporan dari Bank Dunia pada April 2025 lalu tentangMacro Poverty Outlook menegaskan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang jauh di atas klaim Badan Pusat Statistik. Hal ini merupakan cerminan manipulatif, bahkan delusi dari pemerintah. Pemerintah sedang menebarkan kebohongan seakan negara baik-baik saja.
Monopoli Kebenaran oleh Pemerintah
Relasi kekuasaan–pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah (Haryatmoko, 2016). Logika kekuasaan–pengetahuan memaksa publik untuk percaya pada otoritas ilmiah. Klaim ilmiah seolah-olah telah mencapai status objektif, padahal bagian dari strategi kekuasaan yang disuguhkan dalam bentuksimulacra.Simulacra tidak merujuk pada realitas, tetapi menciptakan realitasnya sendiri (hyperreality). Menurut Jean baudrillard, dalam dunia politik,simulacra digunakan untuk mengarahkan opini publik.
Cara pandang seseorang, menurut teori kekuasaan modern Foucault, dibentuk oleh pengetahuan yang sudah sejak awal tersusupi oleh kekuasaan (Sunaryo, 2023). Pengetahuan tidak lagi bersumber pada subjek, melainkan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Kekuasaan demikian tidak melulu bersifat menindas atau represif, tetapi juga melalui produksi pengetahuan.
Hubungan resiprokal pengetahuan–kekuasaan ini diterangkan oleh Joseph Rouse melalui kekuasaan epistemik dan kekuasaan politik. Kekuasaan epistemik lekat dengan otoritas ilmiah, seperti lembaga akademik. Sementara itu, di dalam kekuasaan politik, negara dapat menciptakan pandangan yang kemudian diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat, atau ‘seakan’ negara berhak menentukan kategori benar atau salah suatu pandangan.
Keberhasilan negara mengkonstruksi pengetahuan kerap kali tampak pada survei yang memperlihatkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Menko Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, pada saat rapat kerja di Badan Anggaran DPR bulan Juli 2025 mengklaim bahwa publik merasa puas dengan kinerja Prabowo. Survei tersebut menyebut bahwa 81,2 persen masyarakat cenderung puas terhadap kinerja Prabowo.
Sebagai narasi statistik, survei ini seakan membenarkan dahsyatnya rezim pengetahuan negara untuk mengontrol persepsi publik. Di saat bersamaan, hal itu juga mengerdilkan pengetahuan alternatif yang kritis terhadap rezim.
Pengetahuan menjadi alat kekuasaan modern yang efektif dan sulit dikenali. Melalui pengetahuan dan produksi wacana, opini publik dikontrol dan didistribusikan sesuai kebutuhan. Memonopoli pengetahuan dan membungkam kritik menjadi cara kekuasaan beroperasi. Kebenaran bukan lagi apa adanya, tetapi diciptakan oleh otoritas kekuasaan.
Rezim Pengetahuan dan Delusi Keberpihakan
Ketimpangan struktural semakin terkubur sebagai narasi emansipasi; tidak lagi bermakna secara ideologis, tetapi berubah menjadi pragmatisme yang jinak. Hegemoni semacam ini membungkam kritik, membisukan suara perlawanan hingga menyumbat tenggorokan kritis publik. Bagaimana tidak, hari buruh tahun 2025, yang dihiasi dengan panggung mewah itu, secara simbolik adalah dukungan populis terhadap para oligarki untuk membungkam kritik.
Kelompok yang menamai dirinya kaum buruh pada momentum tersebut, yang dulunya membuat penguasa gelisah, kini menunggu santunan Sang Oligarki. Mereka tidak lagi meringkik kesakitan. Janji-janji populis telah membalut luka struktural pada tubuh ideologis kaum buruh. Nilai-nilai perjuangan, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan solidaritas semakin teralienasi dari kesadaran kelas pekerja.
Posisi keberpihakan yang dipertontonkan pemerintah hanya sebatas delusi. Prabowo melalui istilah yang dibuatnya, ‘Serakahnomics’, seakan-akan hendak membangun kepercayaan publik bahwa negara hadir untuk melawan oligarki rakus yang mencuri kekayaan negara. Padahal, ketidaktegasannya pada penegakkan hukum terhadap korporasi yang mengakali regulasi untuk merusak lingkungan dan menindas kelompok masyarakat marginal menunjukkan sebaliknya.
Rezim Pengetahuan dan Antagonisme Gerakan Rakyat
Di dalam ruang publik, narasi kritis menemui jalan buntu. Realitas dansimulacra tak lagi dapat dibedakan, atau setidaknya menjadi alat kekuasaan. Pemerintah menanggapi tagar #gawatdarurat, #IndonesiaGelap, #kaburajadulu, dan #BubarkanDPR sebagai ekspresi kekanak-kanakan. Gerakan mengibarkan bendera One Piece dianggap makar.
Dalam banyak media, Prabowo menuduh rakyat yang melakukan perlawanan sebagai antek asing dan dibiayai koruptor. Aksi protes dicap anarkis. Namun instrumen kekerasan negara dalam wujud kepolisian diberikan penghargaan kenaikan pangkat pasca-demonstrasi Agustus lalu. Proyek-proyek tanpa riset seperti MBG, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih justru dipandang sebagai representasi aspirasi riil masyarakat.
Padahal, aneka kebijakan tersebut terbalut luka. Berbagai media memberitakan kasus keracunan akibat program MBG di banyak daerah, kejadian pelarian siswa dan guru dari program Sekolah Rakyat, penutupan Koperasi Desa Merah Putih pasca-diresmikan. Ketidakmampuan Prabowo membaca fakta ini memperlihatkan batas antara realitas dansimulacra kabur: kenyataan diubah menjadisimulacra, dan hasil simulasi justru diterima sebagai kenyataan.
Peran Pendengung dan Media
Media memainkan peran ganda: memperluas ruang partisipasi publik dalam demokrasi sekaligus membajak demokrasi oleh elite dan oligarki. John Street (2011) menjelaskan bahwa media memiliki efek magis dalam mempengaruhi persepsi publik. Pengetahuan atau informasi dapat dianggap benar apabila memiliki kredibilitas. Pemberitaan media dapat membubuhkan atribut kredibilitas pada produksi pengetahuan tersebut.
Negara dengan aparatusnya memiliki sumber daya yang melimpah untuk menguasai media. Gelagat Prabowo selama menjabat, bahkan telah tampak pada saat kontestasi elektoral 2024 lalu, menggunakan para pendengung dari kalangan pesohor untuk menaikkan popularitasnya.
Para pendengung membangun citra pemerintahan yang kredibel. Meskipun di ruang media Prabowo tidak menonjolkan retorikawong cilik yang dimainkan oleh pendahulunya, Jokowi, ia tetap menggunakan resep yang sama: menggunakanbuzzeruntuk mewartakan keberhasilannya dan memberangus suara kritis.
Akhirnya, dengan memanfaatkan hiper-realitas untuk membentuk persepsi, mengontrol wacana demi memonopoli kebenaran, dan mengemasnya dalam janji-janji populis, kekuasaan berhasil menukar luka struktural menjadi citra kemajuan. Dalam medan wacana yang demikian, kritik kehilangan taring, perlawanan kehilangan daya, dan publik terperangkap dalam realitas yang direkayasa untuk melanggengkan kekuasaan. Kita dibuat terperangah dalam delusi kebenaranala kekuasaan.