Baru saja keluar dari liang lahat autoritarianisme pada 2015, Nepal seolah kembali menemui jalan buntu. Muak denganflexingkalangan elit dan keluarganya, massa yang diorganisir kalangan Gen Z menggeruduk kantor-kantor pemerintahan dan rumah para pejabat.
“Hari ini, saya berdiri di sini dengan impian membangun Nepal yang baru. Api harapan dan semangat membara dalam diri saya, tetapi hati saya berat karena impian ini tampaknya mulai sirna,” begitu pidato Abiskar Raut yang membakar massa. Abiskar dan kawan-kawan Gen Z berhasil menggulingkan rezim korup di Nepal.
Rapuhnya demokrasi
Kisah sukses Abiskar dan kawan-kawan menunjukkan resiliensi demokrasi, tetapi juga membuka tabir rapuhnya sistem kenegaraan ratusan tahun ini.
Dalam imajinasi publik, demokrasi sering dibayangkan sebagai ladang subur: di dalamnya tumbuh benih kesetaraan, partisipasi bersemi, dan hak asasi manusia dirawat. Namun, sebagaimana ladang akan gersang ketika hujan tak turun, demokrasi pun akan kehilangan kesuburannya saat dihantam ketimpangan sosial dan ekonomi.
Menjadi negara demokrasi bukanlah jalan singkat bagi Nepal. Negeri itu menempuh kisah panjang penuh luka yang bermula dari monarki absolut, beralih ke monarki konstitusional, hingga pada akhirnya memproklamasikan diri sebagai republik federal.
Rakyat Nepal sempat menghirup angin segar ketika demokrasi dideklarasikan. Hak warga dijamin. Federalisme dijanjikan. Pemisahan kekuasaan ditegakkan. Namun, angin itu seolah berubah menjadi badai yang mengguncang, menghadirkan bencana sekaligus tangis di tengah masyarakat.
Para elite politik perkotaan memonopoli sumber daya sekaligus kunci keadilan. Sementara itu, masyarakat miskin di daerah tetap terjebak dalam keterbelakangan. Hukum dijadikan alat untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan segelintir elit. Dari sinilah klaim pemerintahan demokratik Nepal kehilangan legitimasinya. Rakyat merasa asing dengan konstitusi yang seharusnya menjadi milik mereka.
Demonstrasi Nepal barusan memotret kerapuhan demokrasi dengan jelas. Jurang antara mayoritas warga yang miskin dan segelintir elit yang kaya, diperlebar flexing pejabat beserta keluarganya, memicu amukan rakyat hingga pemerintah rontok. Kemarahan Gen Z berawal dari media sosial, bersambung ke aksi di berbagai sudut negara. Berbagai skandal politik, rentetan korupsi tanpa akuntabilitas penanganan, mengikis kepercayaan publik. Harapan atas pemerintahan yang bersih menguak, membara di dalam dada rakyat Nepal.
Alih-alih mendengar suara rakyat yang membludak di media sosial, pemerintah Nepal justru memilih jalan sebaliknya: membungkam kritik dengan memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook dan YouTube. Tindakan ini bukan hanya menambah bara kemarahan publik, tetapi juga memperlihatkan betapa kekuasaan lebih takut pada kebebasan berekspresi daripada pada korupsi yang menggerogoti negeri.
Amarah yang semula hanya menggema di ruang digital berubah menjadi ledakan di dunia nyata: gedung parlemen dibakar, kediaman pejabat diserang, polisi yang seharusnya menjadi aparat penegak hukum menembakkan senjata ke rakyat hingga menewaskan puluhan orang. Gelombang demonstrasi ini memuncak pada pengunduran diri presiden dan perdana menteri.
Arus besar unjuk rasa Gen Z membuka babak baru bagi Nepal. Dari puing-puing krisis lahirlah sejarah baru dengan naiknya Sushila Karki sebagai perdana menteri perempuan pertama di Nepal. Karki adalah mantan Ketua Mahkamah Agung yang populer di semua lapisan sosial masyarakat Nepal, termasuk Gen Z, karena track record anti korupsinya.
Pelajaran
Bercermin dari Nepal, nurani Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya tergugah. Di atas kertas, negeri ini memang lebih stabil, tetapi jurang antara kaya dan miskin bukanlah hal asing.
Demokrasi memang hadir lewat pemilu dan sidang parlemen. Namun, bagi banyak rakyat, keadilan hanyalah fatamorgana: terlihat dekat, tetapi selalu menjauh saat didekati. Banyak pejabat sibuk memamerkan kekayaan dan gaya hidup glamor. Kasus-kasus korupsi dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian yang tuntas. Di balik janji-janji politis yang menjanjikan kesejahteraan, rakyat justru terus menanggung derita akibat semakin melebarnya jurang kesenjangan sosial.
Untuk menjadi negara demokrasi yang ideal, aneka persoalan ini harus diselesaikan hingga ke akar.Pertama, korupsi adalah penyakit yang telah lama berakar di Indonesia dan harus benar-benar diadili. Bukan janji pemanis bibir, melainkan tindakan nyata dan tegas dalam menegakkan keadilan.
Kedua, kesenjangan sosial harus dipersempit sebab demokrasi tak akan berdaya bila rakyat masih dibiarkan lapar dan terpinggirkan. Pemerintah harus berhenti menutupi jurang ini dengan beragam retorika yang hanya enak di telinga.
Ketiga, kebebasan sipil mesti dijaga karena suara rakyat adalah nafas yang menghidupkan demokrasi. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung kosong: gemerlap dari luar, rapuh di dalam.
Keempat, reformasi politik tidak lagi bisa ditunda. Krisis legitimasi hanya akan semakin dalam bila pemerintah terus bersembunyi di balik prosedur. Kepercayaan masyarakat hanya dapat diraih kembali lewat langkah konkret, bukan janji kosong.
Nepal menjadi cermin bahwa korupsi, kesenjangan, dan krisis legitimasi menjadi bayang-bayang yang akan menghantui setiap negara yang mengkhianati prinsip demokrasi. Keadilan yang diabaikan, hukum yang diperalat, dan kesenjangan yang menganga hanyalah bara dalam sekam. Sekali rakyat meniupnya, api itu menjelma menjadi amarah yang melalap demokrasi hingga ke akar.
Bukan rakyat Nepal meniru kekuatan gerakan demokrasi Indonesia, melainkan Indonesia yang harus belajar dari Nepal untuk membersihkan negara ini dari tikus-tikus berdasi.