Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Sampah, Waste to Energy

100% Sampah Terkelola, Realistis atau Utopis?

“Perjanjian harus ambisius, praktis, dan mengirim sinyal tegas bahwa polusi plastik harus diakhiri. Waktu untuk bertindak adalah sekarang,” pungkas Menteri Hanif dalam pertemuan Komite Negosiasi Antar Pemerintahan di tahap kedua Global Plastic Treaty di Geneva, Swiss, tanggal 5-14 Agustus 2025.

Indonesia selalu saja hadir menjadi negara dengan orasi dan ambisi yang membara, tetapi begitu lesu dan layu dalam praktiknya. Kali ini soal permasalahan sampah, terutama sampah plastik. Indonesia menawarkan solusi dengan strategi pendekatan ekonomi sirkular dengan tenggat kemampuan antar negara.

Target ambisius ini sebetulnya sudah tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam RPJMN, Indonesia menargetkan pengelolaan sampah hingga 100% di tahun 2029. Melihat kondisi tata kelola dan implementasi tata kelola sampah di Indonesia secara umum, target ini masih mengundang tanya: apakah strategi pemerintah dalam mewujudkan agenda ambisius ini, 100% sampah terkelola?

Tidak Realistis

Target 100% sampah terkelola tidak realistis jika memahami kompleksitas persampahan Indonesia hari-hari ini. Impian ini hanya mungkin tercapai jika pemerintah menggunakan sebuah teknologi mutakhir untuk membumihanguskan tumpukan dan timbulan sampah dalam waktu cepat, bukan ekonomi sirkular. Permasalahan sampah tidak hanya berkutat pada tumpukan dan timbunan, tetapi juga penanganan dan pemilahan sampah.

Wacana intervensi teknologi yang digadang-gadang dapat menyelesaikan permasalahan sampah secara cepat hingga 100% seharusnya menyentuh juga kesiapan dan konsekuensi di baliknya. Tanpa pemilahan yang baik di bagian hilir, teknologi ini hanya akan menghasilkan sampah campuran (organik, anorganik, dan residu) dengan tingkat emisi yang tinggi.

Banyumas sudah menerapkan teknologi berkemajuan setingkatRefuse-Derived Fuel, tetapi masih mengalami kendala dalam penggunaannya. Selain itu, tanpa adanya pendanaan yang cukup, skema bisnis yang baik, dan pengetahuan operator yang mumpuni, teknologi ini hanya akan menjadi seonggok mesin tak berguna ketika mengalami kerusakan.

Lantas, apakah permasalahan sampah dapat ditangani dengan lebih komprehensif? Tentu bisa, tetapi jelas membutuhkan waktu yang cukup lama.

Solusi Murah

Indonesia tidak kekurangan teknologi dalam mengurai permasalahan sampah. Bukan teknologi biangnya, melainkan penegakan hukum atas ketidakpatuhan terhadap tata kelola sampah. Kekosongan penegakan hukum di bagian hulu atau sumber sampah akan menciptakan ekosistem sampah yang tidak terkendali dan tidak bertanggungjawab.

Kurang lebih terdapat tiga strategi untuk menangani isu sampah dengan murah dan mudah: pemilahan dari sumber, mekanisme pengangkutan sampah, dan penerapan sanksi sosial dalam tata kelola sampah.

Pertama, masyarakat Indonesia secara umum masih sulit untuk melakukan pemilahan sampah. Apalagi jika dituntut untuk memisahkan sampah ke dalam tiga kantong: organik, anorganik, dan residu. Karena itu, tahap awal pemilihan harus dibuat mudah. Pelaku sampah skala rumah tangga cukup memisahkan sampah organik dengan sampah non-organik.

Penanganan sampah organik skala rumah tangga perlu didukung pemerintah. Dinas terkait harus menganggarkan pengadaan fasilitas biopori untuk masing-masing rumah dan mendampingi pelaku sampah rumah tangga untuk membuat bioporinya.

Jika pendampingan terkendala, pemerintah dapat mendelegasikan kepada komunitas di sekitar atau para mahasiswa Kuliah Kerja Nyata melalui jalinan kerja sama kontinual. Dalam waktu 30 hingga 50 hari, kebiasaan memilah sampah dapat dimonitor secara berkala untuk memastikan kebiasaan memilah sudah terbangun.

Upaya ini mengacu pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional yang mengindikasikan timbulan sampah nasional masih didominasi sampah organik dengan persentase di atas 40%. Jika pengurangan sampah organik ini berjalan lancar, timbulan sampah sebanyak  65.828,42 ton pada tahun 2022 dapat ditekan hingga mencapai 39,497.052 ton saja dalam setahun. Pemisahan sampah organik skala rumah tangga dapat mempermudah fokus pengelolaan lanjutan pada pemilahan sampah anorganik dan residu.

Kedua, petugas truk sampah harus didukung dengan menciptakan desain truk yang ramah pilah. Artinya sudah ada bak tersendiri untuk sampah organik dan anorganik. Sampah-sampah ini tidak dapat diangkut sebelum benar-benar terpilah. Upaya ini sudah dilakukan oleh pemerintah Jepang era Olimpiade Tokyo 1964 dan berjalan hingga hari ini.

Selain itu, pembiayaan angkutan sampah perlu disesuaikan dengan volume sampah. Aturan ini menghapus sistem pembayaran sampah yang sama rata di Indonesia sehingga mendorong pelaku sampah skala rumah tangga untuk mengurangi volume sampahnya dengan memisahkan sampah organiknya sendiri.

Ketiga, alih-alih berfokus pada membangun teknologi berkemajuan untuk mengelola sampah, lebih baik menciptakan infrastruktur sanksi bagi pelaku pembuangan sampah pembakaran sampah. Strategi ini dapat mengadopsi metode amati, dokumentasi, dan sebarkan.

Baru-baru ini di Indonesia, pendekatan ini terasa lebih efektif dalam memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran, termasuk pemangku kebijakan yang tertangkap publik melanggar aturan persampahan. Ketiga strategi di atas ramah masyarakat dan ramah di kantong. Jika tidak efektif, kualitas masyarakat kita mungkin serupa sampahnya itu sendiri.

Kebiasaan manajemen sampah yang baik juga perlu dibarengi dengan keberanian politik dan keteladanan struktural pemangku kebijakan dalam memulai upaya pengelolaan sampah. Sudahkah kita berani dan serius dalam menangani permasalahan sampah sebelum kita begitu keras dan lantang membual tentang ambisi pengelolaan sampah?