Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sejak awal kemunculannya telah memicu gelombang protes. Proses legislasi yang dinilai terburu-buru, minim partisipasi publik, dan berlangsung tertutup menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Ketidakpuasan ini akhirnya bermuara pada pengajuan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh berbagai kalangan. Namun, pada 17 September 2025, MK menolak seluruh permohonan tersebut dan menegaskan revisi UU TNI tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini justru memicu perdebatan lebih luas mengenai transparansi, partisipasi publik, serta kualitas legislasi di Indonesia.
Awal Mula Kontroversi Revisi UU TNI
Kontroversi revisi UU TNI mencuat sejak DPR mengesahkan perubahan undang-undang tersebut pada 20 Maret 2025. Proses pembahasannya dinilai cacat oleh banyak pihak karena berlangsung tergesa-gesa dan minim melibatkan partisipasi publik. Sejumlah rapat bahkan digelar di lokasi yang sulit diakses masyarakat, seperti hotel mewah, sementara pemerintah tengah gencar menggalakkan efisiensi anggaran. Kritik juga semakin keras karena revisi ini dianggap tidak sejalan dengan agenda reformasi militer pasca-1998, terutama dengan munculnya pasal-pasal yang memperluas peran TNI di sektor sipil dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
Masyarakat sipil dan akademisi menyoroti bahwa revisi UU TNI tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas proses perencanaannya. Selain itu, dokumen penting seperti naskah akademik dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sulit diakses publik, memperkuat tudingan bahwa proses legislasi berlangsung tertutup dan tidak akuntabel. Hanya sehari setelah pengesahan, pada 21 Maret 2025, sejumlah gugatan uji formil pun diajukan ke MK dan menjadi salah satu perkara uji formil terbanyak dalam sejarah lembaga tersebut.
MK Menolak Uji Formil UU TNI
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa pembahasan revisi UU TNI telah sesuai dengan prosedur hukum dan tidak melanggar hak konstitusional.
“Mahkamah berpendapat, proses pembentukan UU 3/2025 secara formil tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, UU 3/2025 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan putusan, Rabu (17/9).
Ia melanjutkan, “Dengan demikian, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menilai dan menyatakan dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.”
Meski begitu, putusan ini tidak bulat. Sejumlah hakim menyampaikan dissenting opinion yang menilai adanya cacat formil dalam proses legislasi UU TNI.
Alasan MK Menolak Uji Formil UU TNI
- MK menilai revisi UU TNI tidak melanggar aturan terkait Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Meskipun UU TNI tidak tercantum dalam Prolegnas Prioritas 2025, MK berpendapat bahwa UU Nomor 34 Tahun 2004 sebelumnya telah berulang kali masuk dalam Prolegnas, bahkan dua kali masuk sebagai prioritas. Selain itu, kebutuhan revisi ini diperkuat oleh Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021. MK juga menekankan bahwa DPR sah mengesahkan revisi ini dalam rapat paripurna 18 Februari 2025 yang dihadiri seluruh anggota dewan, sehingga perubahan agenda Prolegnas dinilai sah.
- MK memandang revisi UU TNI sebagai carry over dari proses legislasi yang dimulai sejak 2022. DPR telah menyusun naskah akademik dan RUU sejak tahun tersebut, kemudian melakukan pembahasan intensif pada 2024 dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat melalui forum diskusi dan dialog. Karena itu, dalil yang menyatakan revisi ini bukan carry over dianggap tidak berdasar.
- MK menilai perubahan UU TNI relevan dengan agenda reformasi militer. Revisi ini dipandang penting untuk menghadapi kompleksitas tantangan pertahanan, memperkuat dukungan TNI terhadap tugas kementerian/lembaga lain, serta menyesuaikan batas usia pensiun prajurit. UU TNI yang sudah berusia lebih dari 20 tahun juga dianggap perlu diperbarui agar mampu menjawab dinamika keamanan saat ini.
- MK menegaskan bahwa pembahasan revisi UU TNI telah dilakukan secara transparan dan akuntabel. DPR disebut menggelar diskusi, rapat kerja, dan rapat dengar pendapat yang melibatkan masyarakat sipil. Informasi terkait revisi pun disebarkan melalui laman resmi DPR dan kanal YouTube, sehingga publik dapat mengaksesnya. MK juga menampik tuduhan adanya penghalangan partisipasi publik, termasuk saat aksi masyarakat sipil berlangsung di Hotel Fairmont, lokasi salah satu rapat pembahasan.
- MK menolak dalil bahwa akses terhadap dokumen revisi dibatasi. Sebagai bukti, MK merujuk pada adanya policy brief dari Indonesia Strategic & Defense Studies (ISDS) yang menyitir draft RUU. Rapat dengar pendapat dan diskusi publik juga dipandang sebagai wujud keterbukaan informasi.
Isi Dissenting Opinion terhadap Putusan MK
Empat hakim konstitusi yang menyampaikan dissenting opinion, yaituSuhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani, memiliki pandangan berbeda dari mayoritas hakim MK.
1. Ketua MK Suhartoyo
Menyoroti minimnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Menurutnya, naskah akademik dan draft RUU sulit diakses, sementara rapat-rapat pembahasan sering digelar secara tertutup di lokasi yang tidak mudah dijangkau publik.
Ia menilai partisipasi publik belum memenuhi prinsip meaningful participation, yakni hak untuk didengar, dipertimbangkan, serta memperoleh penjelasan atas masukan yang diberikan. Karena itu, Suhartoyo berpendapat MK seharusnya mengabulkan sebagian permohonan dengan syarat revisi UU TNI diperbaiki dalam waktu dua tahun.
2. Hakim Saldi Isra
Menekankan pentingnya keterlibatan publik, mengingat UU TNI lahir dari semangat reformasi 1998 yang menempatkan isu pertahanan dan keamanan sebagai agenda utama. Ia juga menolak anggapan bahwa revisi ini sah sebagai carry over, karena bukti yang ada tidak memenuhi syarat tersebut. Menurut Saldi, cacat formil dalam prosedur legislasi seharusnya cukup kuat untuk mengabulkan permohonan.
3. Hakim Enny Nurbaningsih
Mengkritik status carry over dan keterlibatan publik yang minim. Ia menegaskan bahwa RUU TNI tidak bisa disebut carry over karena tidak tercantum dalam Prolegnas 2024–2029, sementara partisipasi publik yang ada masih jauh dari memadai.
4. Hakim Arsul Sani
Menyoroti aspek prosedural Prolegnas Prioritas. Ia berpendapat bahwa sebelum membahas revisi UU TNI, DPR bersama pemerintah seharusnya terlebih dahulu mengubah Prolegnas Prioritas 2025, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 serta Tata Tertib DPR.