Kementerian ESDM menetapkan bahwa semua pengadaan BBM untuk SPBU swasta harus melalui impor BBM satu pintu, yaitu Pertamina. Hal ini bertujuan untuk menstabilkan pasokan dan memastikan SPBU swasta dapat tetap melayani konsumen tanpa gangguan. Kebijakan ini diterapkan menyusul kekosongan stok BBM yang dialami sejumlah SPBU swasta, yaitu Shell Indonesia dan BP-AKR, sejak pertengahan Agustus lalu.
Mengapa Terjadi Kelangkaan?
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menjelaskan bahwa lonjakan permintaan BBM non-subsidi terjadi seiring banyak masyarakat yang belum terdaftar atau kendaraannya tidak sesuai untuk membeli BBM subsidi, sehingga mereka beralih ke BBM non-subsidi. Pergeseran konsumsi ini menjadi salah satu faktor utama yang memicu kekosongan stok di beberapa SPBU swasta. “Terjadi shifting konsumsi sekitar 1,4 juta kiloliter dari Pertalite ke BBM non-subsidi,” ujarnya di kompleks parlemen, Jakarta, pada 3 September 2025.
Kelangkaan BBM juga dipengaruhi perubahan mekanisme impor yang diterapkan Kementerian ESDM. Sebelumnya izin impor berlaku satu tahun, kini dipangkas menjadi enam bulan dengan evaluasi setiap tiga bulan. Selain itu, SPBU swasta diwajibkan memiliki izin usaha niaga atau pengolahan serta rutin melaporkan aktivitas impor ke Direktorat Jenderal Migas. Direktur Jenderal Migas, Laode Sulaeman, menambahkan bahwa badan usaha swasta sebenarnya sudah mendapat tambahan kuota impor hingga 110 persen dibanding realisasi 2024, namun lonjakan permintaan tetap membuat stok menipis.
Solusi dan Komitmen Dagang
Merespons kekosongan BBM di SPBU swasta,Kementerian ESDM menegaskan seluruh impor akan dilakukan melalui satu pintu, yaitu PT Pertamina (Persero). Menurut Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, langkah ini bertujuan agar pasokan BBM tersalurkan merata dan meminimalkan risiko kekosongan. Prosesnya melibatkan sinkronisasi data kebutuhan BBM dari seluruh badan usaha swasta dengan data pasokan yang dimiliki Pertamina.
“Jadi ya, proses impornya akan dilakukan satu pintu. Jangan sampai apa yang sudah diberikan tidak mencukupi, sehingga ada masalah dalam implementasinya,” ujar Yuliot saat ditemui awak media di Kementerian ESDM, Jumat (12/9/2025).
Yuliot juga menyebut sebagian impor BBM akan melibatkan perusahaan migas Amerika Serikat, seperti ExxonMobil dan Chevron. Meski belum dijelaskan apakah Pertamina akan membeli langsung atau melalui mekanisme lain, pemerintah memastikan transaksi ini akan tercatat sebagai bagian dari trade balance Indonesia dengan AS, sesuai kesepakatan tarif resiprokal sebelumnya.
Tambahan Pasokan Jika Diperlukan
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menambahkan bahwa Pertamina berpotensi mengimpor BBM baru untuk memasok badan usaha (BU) hilir migas swasta, termasuk Shell Indonesia dan BP-AKR. Keputusan ini baru akan diambil jika pasokan milik Pertamina tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan SPBU swasta, khususnya BBM non-subsidi.
Laode menjelaskan bahwa Pertamina masih memiliki kuota impor yang belum terealisasi tahun ini, sehingga memungkinkan untuk menambah impor bila diperlukan. “Ada tambahannya dari SPBU swasta, kita tugaskan Pertamina [impor] satu pintu. Kita minta datanya, begitu dapat data, kita kasih tahu Pertaminanya, kata Pertamina, ‘oh ternyata perlu tambahan nih Pak, kami harus impor tambahan berarti ini’,” jelas Laode usai rapat dengan perusahaan SPBU di Kementerian ESDM, Rabu (10/9/2025).
Saat ini, Kementerian ESDM masih menunggu data kebutuhan BBM dari SPBU swasta dan stok Pertamina. Setelah data diterima, kementerian akan mensinkronisasi untuk menentukan langkah selanjutnya. Sementara itu, Laode menegaskan Shell dan BP-AKR belum menyepakati pembelian BBM dari Pertamina karena masih memerlukan waktu menyiapkan data yang diminta kementerian.
Risiko Impor BBM Satu Pintu
Kebijakan impor BBM satu pintu berisiko menimbulkan ketergantungan berlebihan pada Pertamina, terutama jika terjadi gangguan di rantai pasokan atau kesalahan perhitungan impor. Ketika seluruh BBM harus melalui impor BBM satu pintu, masalah pada pintu tersebut akan berdampak pada seluruh rantai pasok, sehingga bisa menghambat aktivitas ekonomi masyarakat.
Ketahanan energi akan lebih kuat jika pasokan berasal dari berbagai sumber dan dikelola oleh beberapa pelaku, tidak hanya bergantung pada impor BBM satu pintu. Dengan memberi kesempatan beberapa badan usaha melakukan impor secara terukur, pemerintah menciptakan cadangan alternatif saat salah satu jalur terganggu. Persaingan antar pelaku juga menguntungkan konsumen lewat harga lebih kompetitif, layanan lebih baik, dan variasi produk yang lebih banyak.