Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Demonstrasi, Demonstran, Vandalisme, 17+8 Tuntutan Rakyat

Vandalisme: Penumpang Gelap Demonstran

Kira-kira begini adagium sinis Roosevelt: “tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan dalam politik, pun kalau ada pasti telah direncanakan.” Aforisme sinis ini menemukan padanannya dalam kritik epistemologi postmodernisme yang menolak klaim objektivitas dan kausalitas tunggal. Foucault misalnya mengamini relativisme dan konstruksi sosial: “seakan-akan kejadian-kejadian itu hanya mempunyai satu sebab tunggal, padahal sebab tidak selalu tunggal”(Haryatmoko, 2016).

Resonansi antarapolitical practice dan kritik epistemologi ini memintal benang merah yang dapat menyingkapkan gerakan penumpang gelap dalam aksi demonstrasi. Begitu brutalnya pembakaran halte dan fasilitas umum hingga penjarahan rumah sejumlah pejabat telah mengkambinghitamkan perjuangan emansipasi rakyat.

Tanpa mengurangi semangat revolusi, lebih lagi menolak lupa pada teriakan seorang ibu yang menuntut keadilan bagi anaknya, Affan dan korban lainnya, tulisan ini hendak memurnikan jalannya revolusi dari bawah.

Paradoks Ganda Kebijakan Prabowo

Ketika dilantik, bahkan jauh sebelumnya, janji-janji populis Prabowo-Gibran merupakan jualan laris narasi kampanye. Mulai dari janji pemberantasan korupsi, efisiensi anggaran, keterbukaan lapangan kerja, hingga program makan bergizi gratis. Menyebut populisme sebagai salah satu strategi efektif Prabowo-Gibran, dan tanpa menafikkan strategi-strategi cacat lain yang berhasil merusak nilai demokrasi, kini janji-janji itu menjadi buah mimpi pemerintahan Prabowo. Alih-alih mengungkapkan fakta secara jujur, untuk menyenangkan hati rakyat, Prabowo justru menciptakan krisis kepercayaan akut.

Janji politik Prabowo berakhir dengan paradoks ganda kebijakan.Pertama, kebijakan efisiensi, tetapi muncul rencana menambah utang hingga 781,9 Triliun di tahun 2026(Tempo.co, 2025). Belum lagi pembengkakan Kabinet Merah Putih, hingga alokasi anggaran berlebih dengan memberikan tunjangan DPR RI yang tidak masuk akal itu.Kedua, janji 19 juta lapangan kerja, yang terjadi sebaliknya yakni PHK besar-besaran, hingga skeptisisme publik pada anomali data BPS.Ketiga, janji pemberantasan korupsi berakhir dengan ketidaktegasan atau narasi ‘memaafkan koruptor secara diam-diam’, dan anehnya Prabowo memberikan penghargaan bintang mahaputra adipradana kepada mantan koruptor Burhanudin Abdullah(Schoolmedia.id, 2025).

Pada saat yang sama, arogansi kekuasaan mengklaim penurunan angka kemiskinan dan pengangguran(Tempo.co 2025), hingga terbaru pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12%(DDTCNews, 2025). Klaim ini sangat membahayakan, selain tidak jujur memotret realitas sesungguhnya, akan berdampak pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Kondisi riil masyarakat masih berbalut masalah ketimpangan sosio-ekonomi dan politik tak berujung. Nasib kelas menengah sepanjang lima tahun terakhir penuh kekuatiran dan harus mengeruk saku tabungan untuk memenuhi kebutuhan(BBCIndonesia.com, 2024).

Populisme Cacat

Rentetan unjuk rasa adalah akumulasi kemarahan publik, menyoal transparansi dan akuntabilitas, serta arogansi dan krisis empati pejabat publik di tengah pilunya ekonomi masyarakat. Seruan jalan keadilan melalui demonstrasi merebak hingga ke seluruh penjuru tanah air. Alasannya jelas,pertama, paradoks ganda kebijakan Prabowo yang dijelaskan di atas.Kedua, gaji dan tunjangan anggota DPR mencapai ratusan juta per-bulan(BBCIndonesia.com, 2025) tidak sejalan dengan kebijakan efisiensi.Ketiga, masyarakat menuntut keadilan dengan mendorong pembahasan dan pengesahan Undang-undang Perampasan Aset(Ritonga, M. W, 2025).

Fokus pembahasan pada bagian ini lebih menyoal pembengkakan gaji dan tunjangan DPR RI. Muncul pertanyaan publik, apakah gaji dan tunjangan DPR RI merupakan hasil keputusan mereka sendiri, atau bersama dengan eksekutif yakni Presiden? Dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) dan (2) bahwa Presiden memiliki kewenangan membuat undang-undang bersama DPR, sekaligus menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 1980 bahwa pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara berhak mendapatkan gaji pokok setiap bulan. Sementara itu, besaran gaji diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 75 Tahun 2000; tunjangan jabatan DPR ditetapkan lewat Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2003; dan dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015, DPR berhak atas tunjangan-tunjangan lain. Beragam tunjangan hingga terbaru kenaikan tunjangan beras, bensin dan rumah(Detik.com, 2025).

Tulisan ini tidak sedang menjabarkan Peraturan Pemerintah itu, tetapi dasar hukum memperlihatkan putusan besaran gaji dan tunjangan DPR adalah atas persetujuan Presiden dan DPR. Di tengah efisiensi pada sektor-sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan, mengapa terjadi pembengkakan hingga 9,9 triliun anggaran belanja DPR dari APBN(Oswaldo, I. G, 2025)? Ada beberapa kemungkinan alasan,pertama, pemerintah menginginkan perolehan dukungan parlemen secara utuh. Basis dukungan parlemen berbeda dengan koalisi partai politik dalam pemerintahan. Meskipun tidak berkoalisi, anggota legislatif di luar koalisi pemerintah akan secara penuh mendukung pemerintah. Boleh jadi, sebagian besar anggota dewan berasal dari partai koalisi pemerintah, sehingga menyetujuinya adalah demi kepuasan anggota dewan dan mengembalikan biaya kampanye elektoral yang mahal.

Kedua, program Presiden akan berjalan mulus. Hampir mustahilcheck and balance terhadap program pemerintah, sehingga kebijakan populis seperti MBG, Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat dan program lainnya akan dengan mudah memperoleh persetujuan. Mudahnya, ‘asalkan permintaan kami dipenuhi, maka kebijakan apapun dibenarkan’. Maka, hampir pasti target rencana hutang 781,9T akan disetujui.Ketiga, pemerintah menutup diri pada kritik, atau pemerintahan anti kritik. Kenaikan tunjangan adalah pembungkaman terhadap fungsi pengawasan dan kritik legislatif. Tidak heran, suara rakyat tidak akan didengar oleh mereka yang mewakili kedaulatan rakyat. Akibatnya ekses kebijakan akan dibuat seenaknya, atau kebijakan bermotif ‘biar publik menilai’.

Serakahnomics dan Penumpang Gelap Demonstrasi

Istilah yang muncul dalam dua pidato Prabowo,serakahnomics adalah untuk menggambarkan kejahatan ekonomi atau serakah dengan mengambil keuntungan dari kekayaan alam Indonesia(Tempo.co, 2025). Kritik ini cukup keras dan mengganggu para oligarki yang tengah menikmatinya. Cukup beralasan istilah ini dilontarkan oleh Prabowo. Tentu Prabowo tahu kondisi ekonomi masyarakat, karena itu menaikkan tarif pajak untuk mendongkrak target pertumbuhan ekonomi mencapai 8% dan membiayai seluruh program populisnya sangat mustahil.

Berbagai upaya melalui diplomasi politik ekonomi global dan menarik investor asing merupakan langkah strategis yang sedang dilakukan Prabowo. Selain itu, upaya strategis yang mungkin dilakukan oleh Prabowo adalah memanfaatkan sumber ekonomi dan kekayaan alam Indonesia. Karena itu, istilahserakahnomicsini mulai digaungkan untuk menjejak cela-cela praktik keserakahan ekonomi. Pertanyaannya, kepada siapa istilah ini dialamatkan?

Keserakahan dalam konteks ini lekat dengan kelompok oligarki yang menjajah kekayaan alam Indonesia, atau setidaknya yang menikmati sepanjang rezim ekstraktivisme Jokowi(Ayubi S. A., & Raffiudin R, 2023). Pasca reformasi, dominasi oligarki menurut Vedi & Richard tidak hilang, dan bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik Indonesia. Menurutnya, oligarki dan neoliberalisme telah memiliki hubungan yang panjang dan kompleks(Hadiz V. R., & Robinson R, 2013). Selain Jokowi yang terintegrasi dengan lingkaran oligarki, Aspinal menyatakan bahwa aktor populis lain yang tidak sepenuhnya anti-oligarki adalah Prabowo. Ia masih akan menguntungkan kelompok oligarki tertentu yang berada di kubunya(Aspinal, 2015).

Perang elit ini berhasil memanfaatkan kemarahan publik pada pemerintahan Prabowo. Anasir politik rezim Jokowi dalam pemerintahan Prabowo masih dirawat, demikian halnya kelompok simpatisan dan buzzer terus dimanfaatkan untuk mengontrol dan memenuhi hasrat kekuasaan lama. Para penunggang gelap demonstrasi tidak tanggung-tanggung melakukan aksinya. Vandalisme brutal begitu masif dilakukan, secara sistematis dan terorganisir. Dengan beraninya, vandalisme model ini menyebabkan 6 halte transjakarta terbakar dan 16 halte lainnya mengalami kerusakan akibat kericuhan(Tempo.co, 2025). Demikian halnya, penjarahan pada sejumlah rumah pejabat dilakukan secara brutal dan membabi buta.

Patut dicurigai, hasil wawancara wartawan Republika, seorang anak kelahiran 2004 yang terpisah dari rombongannya mengungkapkan ia bersama rombongan dikerahkan untuk melakukan penjarahan pada empat rumah, dan rumah Prabowo akan menjadi sasaran terakhir. Dari pengakuannya, ia telah delapan kali menjadi ‘tim pemukul’ dalam unjuk rasa belakangan, termasuk unjuk rasa ‘Gibran dibilang terlalu muda menjadi wapres’, ‘Jokowi yang cawe-cawe pada pemilu’, dan lainnya. Terungkap bahwa rekan-rekannya ditugaskan untuk membakar halte-halte Transjakarta, menjarah rumah sejumlah pejabat, dan melakukan siaranlivedi TikTok. Setelah menunjukkan rekaman penjarahan, ia mengenali rekan-rekannya dari video penjarahan rumah Anggota DPR Ahmad Sahroni. Mereka hanya diiming-iming akan memperoleh imbalan hasil jarahan dan nasi bungkus 3 kali sehari(Republika.co.id, 2025).

Kejahatan ini merupakan bagian dari aksi teror yang menakut-nakuti secara psikologis. Alih-alih memberi efek jera, justru menjadi momok yang kontra produktif dan tidak patut ditiru. Jelas sekali, semua aksi ini dilakukan secara rekayasa dan dikomandoi oleh oknum atau para penumpang gelap. Kecurigaan publik pada kepentingan kekuasaan lama cukup beralasan. Vandalisme fisik melalui aksi demonstrasi dan mainan para buzzer dimobilisasi sedemikian sistematisnya. Akibatnya, suara murni perjuangan tercederai, dan rakyat dikambinghitamkan sebagai pelaku tindakan anarki.

Mencintai Indonesia dari Jalan

‘Jangan pernah lelah mencintai Indonesia’, cuitan Sri Mulyani pasca rumahnya dijarah. Jalanan adalah saksi sejarah betapa rakyat Indonesia mencintai Ibu Pertiwi. Suara kritis yang dilantunkan patut didengarkan ketika para ‘pahlawan’ berlimpah jasa di kursi parlemen itu bertingkah arogan dan tidak lagi memihak pada rakyatnya.

Kami bukan pelaku pembakaran halte, bukan oknum penjarahan rumah pejabat, apalagi buzzer rp, pun bukan bagian dari para elit yang tamak. Kami hanya rakyat biasa yang mengais sedikit demi sedikit hak akan keadilan yang telah dirampok. Hentikan narasi bahwa rakyat anarkis, rakyat pelaku makar, atau rakyat adalah penumpang gelap dari kalangan identitas primordial. Akhirnya, gema suara perjuangan kami merupakan imperatif pada pemerintah, ’17+8 tuntutan’(CNNIndonesia.com, 2025). Mari terus mengawal, lelahmu adalah cinta pada Ibu Pertiwi.