Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Tunjangan Rumah

Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta Kontras dengan Efisiensi Anggaran

Isu tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR kembali menyulut perdebatan publik. Sorotan itu semakin tajam setelah pernyataan salah satu anggota dewan, Nafa Urbach, menuai badai kritik di media sosial. Ia mengeluhkan kemacetan dari Bintaro menuju Senayan. Keluhan tersebut dianggap tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.

Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, rakyat justru dipaksa bergulat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, rendahnya upah, dan akses transportasi publik yang terbatas. Keluhan seorang anggota dewan tentang kemacetan tidak hanya terdengar ganjil, tetapi juga menunjukkan betapa jauhnya pemahaman wakil rakyat dari kenyataan yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Pernyataan tersebut menimbulkan kesan bahwa persoalan pribadi anggota dewan lebih mudah mendapat panggung dibandingkan problem struktural jutaan warga.

Transparansi yang Dipertanyakan

Skema tunjangan perumahan DPR dinilai minim transparansi dan lemah dalam akuntabilitas. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra),Misbah Hasan, menegaskan bahwa model tunjangan lump sum berpotensi disalahgunakan. Artinya, anggota dewan menerima dana Rp50 juta setiap bulan tanpa mekanisme pertanggungjawaban rinci terkait penggunaannya.

“Padahal ada mekanisme lain sepertireimbursement atau laporan penggunaan keuangan yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas,” kata Misbah, dikutip dari Tempo.co.

Berbeda dengan skema rumah dinas yang lebih terkontrol karena berupa aset negara, tunjangan tunai membuka celah yang lebih luas bagi penyalahgunaan. Uang yang seharusnya dialokasikan untuk sewa rumah bisa saja dipakai untuk kebutuhan pribadi. Padahal, dana tersebut bersumber dari pajak rakyat yang dalam kondisi fiskal saat ini seharusnya digunakan dengan penuh kehati-hatian.

Ironisnya, pemerintah kerap menggaungkan efisiensi anggaran, tetapi justru meloloskan skema yang rawan penyalahgunaan. Transparansi publik kembali menjadi korban dari kebijakan yang lebih mengutamakan kenyamanan pejabat dibanding akuntabilitas pengelolaan anggaran negara.

Alasan di Balik Kebijakan

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menyebut tunjangan rumah Rp50 juta per bulan diberikan karenaRumah Jabatan Anggota di Kalibata dan Pos Pengumben sudah tidak layak huni. Bangunan tua, bocor, hingga masalah lingkungan disebut membuat biaya pemeliharaan tidak sepadan dengan manfaat.

Namun, alasan ini dipertanyakan. Wacana penghapusan rumah dinas sudah muncul sejak 2018, jauh sebelum kerusakan dijadikan argumen utama. Bahkan, rencana pemeliharaan sempat ada tetapi dibatalkan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa dalih kerusakan hanya membuka jalan bagi tunjangan tunai yang lebih fleksibel.

Angka Rp50 juta juga dinilai terlalu tinggi untuk sewa rumah di Jakarta. Selain itu, alasan kedekatan lokasi dengan gedung parlemen terasa lemah jika melihat rekam jejak kehadiran anggota DPR yang kerap rendah. Artinya, penghapusan rumah dinas tidak otomatis menjamin peningkatan kinerja parlemen.

Kesenjangan yang Melukai

Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apakah tunjangan Rp50 juta per bulan pantas diberikan? Jawabannya sulit untuk dibenarkan, terlebih dalam kondisi masyarakat yang kian terhimpit.

Harga beras terus melambung, PHK meningkat, sementara upah minimum masih jauh dari standar hidup layak. Di sisi lain, anggota DPR bisa mengantongi total pendapatan lebih dari Rp100 juta per bulan, berkat akumulasi gaji pokok dan berbagai tunjangan. Kontras ini memunculkan luka sosial bahwa wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan justru terkesan hidup dalam gelembung privilese.

Jurang kesenjangan ini tak hanya berdampak pada persepsi, tetapi juga memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap DPR. Apalagi, kinerja lembaga legislatif kerap dinilai mengecewakan, partisipasi publik minim, dan beberapa pembahasan undang-undang berlangsung tertutup. Dalam situasi seperti ini, sulit bagi publik untuk menerima logika pemberian tunjangan fantastis.

Potret Jurang antara Rakyat dan Wakilnya

Tunjangan Rp50 juta per bulan bukan sekadar soal angka, melainkan simbol ketidakadilan. Ia menunjukkan cara pandang elitis yang membuat wakil rakyat semakin jauh dari rakyatnya sendiri. Sebab, apa artinya kebijakan yang hanya menambah kenyamanan segelintir orang, sementara jutaan warga terus bergulat dengan ongkos hidup yang kian berat?

Pernyataan seperti yang disampaikan Nafa Urbach menguatkan kesan bahwa sebagian wakil rakyat telah kehilangan empati. Mereka gagal merasakan apa yang dialami rakyat. Gaji pas-pasan, biaya transportasi yang mencekik, hingga harga kebutuhan pokok yang terus naik.

Karena itu, tunjangan Rp50 juta bukan cuma soal alokasi anggaran, melainkan juga cermin kegagalan moral. Ia memperlebar jurang antara yang berkuasa dan yang dikuasai, sekaligus menegaskan bahwa demokrasi kita masih berjalan di atas logika privilese, bukan keberpihakan.