Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Trans Jogja

Apakah Rasionalisasi Anggaran Trans Jogja Benar-Benar Rasional?

Kabar yang muncul dari Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPRD DIY bersama eksekutif pada (20/8) menggelitik perhatian publik. Mengutip dari Pandangan Jogja, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memutuskan untuk memangkas subsidi operasional Trans Jogja sebesar Rp6,8 miliar pada tahun 2026. Dengan pemangkasan itu, anggaran subsidi yang semula Rp87 miliar kini berada di angka Rp81 miliar.

Alasan yang dikemukakan adalah rasionalisasi. Sebagian anggaran dialihkan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur lain, seperti jaringan irigasi dan peningkatan ruas jalan. Namun, pertanyaan mendasar pun muncul: rasionalisasi ini untuk siapa? Apakah demi kesejahteraan jangka panjang warga, atau justru mengorbankan kebutuhan paling mendasar mereka yaitu mobilitas sehari-hari?

Di atas kertas, angka Rp6,8 miliar mungkin terlihat kecil dibandingkan total APBD. Namun dalam praktik, pemangkasan tersebut berpotensi membawa dampak besar bagi ribuan warga Yogyakarta yang setiap hari mengandalkan Trans Jogja.

Trans Jogja: Nadi Pergerakan Harian Warga

Sejak beroperasi pada 2008, Trans Jogja telah menjadi tulang punggung transportasi publik di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Layanan ini melayani mahasiswa, pelajar, pekerja, pedagang kecil, hingga ibu rumah tangga yang membutuhkan akses murah dan terjangkau ke berbagai titik kota.

Biaya perjalanan yang ramah kantong adalah alasan utama mengapa Trans Jogja tetap bertahan di hati penggunanya. Jika dibandingkan dengan ojek online, naik Trans Jogja bisa menghemat hingga 70 persen dari total pengeluaran transportasi bulanan. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil, selisih itu sangat berarti bagi masyarakat kecil.

Selain faktor ongkos, Trans Jogja juga berperan sebagai penyeimbang kota. Meski jumlah armada masih terbatas, keberadaannya sedikit banyak membantu menahan laju pertumbuhan kendaraan pribadi di jalan.Berdasarkandata Badan Pusat Statistik (BPS) DIY yang dirilis pada September 2024, provinsi ini memiliki sekitar 3,8 juta penduduk. Pada tahun yang sama, Kota Yogyakarta kedatangan sekitar 10,9 juta wisatawan. Dengan tekanan mobilitas yang terus meningkat tiap tahun, tanpa transportasi umum yang memadai, kota ini berpotensi menjadi semakin sesak dan macet.

Kemungkinan Buruk dari Pemangkasan Subsidi

  1. Mengurangi jumlah armada yang beroperasi

    Semakin sedikit bus yang tersedia, semakin sedikit pula pilihan transportasi bagi warga. Penurunan armada berarti rute-rute yang sebelumnya dapat dilayani secara lancar akan mengalami keterbatasan. Hal ini tidak hanya membuat penumpang harus menunggu lebih lama, tetapi juga menimbulkan kepadatan di bus yang masih beroperasi. Bagi warga yang mengandalkan Trans Jogja untuk kegiatan sehari-hari, misalnya pergi bekerja, bersekolah, atau berbelanja, akan langsung menambah kesulitan dan membatasi mobilitas mereka.

  2. Memperpanjang waktu tunggu (headway)

    Saat ini, penumpang sudah kerap menghadapi waktu tunggu 20–30 menit, bahkan lebih. Jika headway semakin panjang akibat pemangkasan anggaran, minat masyarakat untuk menggunakan Trans Jogja bisa merosot drastis. Penumpang akan mencari alternatif lain yang lebih cepat, seperti ojek online, yang tentu lebih mahal. Akibatnya, tujuan utama transportasi publik, yaitu mengurangi kemacetan dan menyediakan opsi perjalanan yang terjangkau justru menjadi terhambat.

  3. Memperpendek jam operasional

    Pemangkasan jam operasi juga berdampak signifikan. Dengan jam operasi yang lebih singkat, fleksibilitas penumpang dalam mengatur waktu perjalanan semakin terbatas. Pekerja yang pulang malam, mahasiswa yang selesai kuliah malam, atau warga yang harus melakukan aktivitas di luar jam sibuk bisa kehilangan akses ke transportasi publik. Mereka terpaksa mencari alternatif yang lebih mahal atau bahkan harus berjalan kaki jarak jauh, yang tentunya tidak efisien dan membebani waktu serta energi.

Ironisnya, ketiga kemungkinan itu hadir dalam kondisi ketika kualitas layanan Trans Jogja masih jauh dari ideal. Armada sudah mulai menua, halte minim fasilitas, banyak titik pemberhentian yang hanya berupa papan kecil tanpa pelindung dari hujan dan terik matahari. Bahkan ada yang menyebut halte Trans Jogja lebih mirip “halte ghaib” karena nyaris tidak layak disebut halte.

Nasib Pengguna: Bertahan atau Beralih?

Jika subsidi dipangkas dan kualitas layanan semakin menurun, pengguna akan menghadapi dilema. Sebagian mungkin tetap bertahan karena faktor harga. Namun, banyak juga yang akhirnya beralih ke kendaraan pribadi atau transportasi online yang lebih mahal.

Di sinilah letak risiko paling serius. Jika masyarakat semakin enggan menggunakan Trans Jogja, maka lalu lintas Yogyakarta akan semakin padat. Pertumbuhan kendaraan pribadi tanpa penyeimbang transportasi publik hanya akan menambah masalah baru, yaitu kemacetan yang semakin parah, polusi udara, serta berkurangnya kualitas hidup warga kota.

Selain itu, kelompok yang paling rentan, seperti pekerja bergaji rendah, pelajar, dan mahasiswa perantau, akan menjadi korban paling nyata. Mereka tidak punya banyak pilihan selain menerima layanan yang makin terbatas. Mobilitas mereka yang seharusnya menjadi hak dasar justru terancam.

Kritik atas Konsep Rasionalisasi

Pemangkasan subsidi Trans Jogja dengan alasan rasionalisasi perlu dipertanyakan logikanya. Transportasi publik bukan sekadar pos anggaran, melainkan infrastruktur vital yang menentukan arah pembangunan kota. Sama halnya dengan kesehatan dan pendidikan, transportasi umum adalah layanan publik yang menjamin akses setara bagi seluruh warga.

Kebijakan ini seolah mengabaikan fakta bahwa transportasi adalah penentu keberlanjutan kota. Bayangkan jika dalam sepuluh tahun ke depan tidak ada perbaikan serius pada transportasi umum. Kota Yogyakarta bisa terjebak dalam krisis mobilitas yang akut, seperti jalanan macet total, udara kotor, warga frustrasi, dan produktivitas menurun.

Pemangkasan anggaran justru terlihat sebagai langkah jangka pendek yang menutup mata terhadap masalah jangka panjang. Bukankah lebih bijak jika pemerintah justru menambah investasi pada transportasi umum, bukan menguranginya?

Evaluasi ulang kebijakan rasionalisasi

Pemangkasan anggaran Trans Jogja memang disebut sebagai langkah rasionalisasi, tetapi kebijakan semacam ini perlu ditinjau ulang secara mendalam. Jika penghematan memang diperlukan, sebaiknya dana dialihkan dari sektor yang tidak berdampak langsung pada hak dasar warga, bukan dari transportasi publik yang menjadi tulang punggung mobilitas sehari-hari. Transportasi umum bukan sekadar fasilitas, tetapi bagian dari hak warga untuk bergerak dengan aman, efisien, dan terjangkau. Memangkas subsidi di sektor ini sama dengan mengurangi akses warga terhadap kebutuhan dasar mereka.

Alih-alih memotong anggaran transportasi, pemerintah sebaiknya mencari strategi efisiensi lain yang tidak mengorbankan kualitas layanan. Misalnya, optimalisasi penggunaan armada, perbaikan rute, atau kolaborasi dengan pihak swasta untuk menambah armada tanpa menambah beban biaya pemerintah. Dengan begitu, kebutuhan mobilitas masyarakat tetap terpenuhi, sementara pengelolaan anggaran tetap efisien. Rasionalisasi anggaran seharusnya menyeimbangkan antara penghematan dan keberlanjutan layanan publik, bukan sekadar memangkas angka yang terlihat besar di kertas, tetapi berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga.