Kemunculan deepfake di tengah derasnya arus informasi digital semakin terasa mengkhawatirkan. Teknologi ini bukan lagi sekadar bahan candaan atau hiburan belaka, melainkan ancaman serius yang mampu merusak reputasi, memicu konflik, bahkan mengganggu stabilitas politik. Belum lama ini, jagat maya dihebohkan oleh sebuah video yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani seolah berkata bahwa “guru adalah beban negara.” Video tersebut segera viral hingga akhirnya Sri Mulyani harus angkat bicara dan menegaskan bahwa itu hanyalah hasil manipulasi yang memotong dan memelintir isi pidatonya.
Lantas, apa sebenarnya deepfake itu, bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana kita bisa melindungi diri dari bahaya tersebut?
Pengertian Deepfake
Deepfake adalah konten palsu berupa video, audio, atau gambar yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) sehingga terlihat sangat realistis dan nyaris tidak bisa dibedakan dari yang asli.
Kata ‘deepfake’ sendiri berasal dari gabungan deep learning (pembelajaran mendalam, salah satu cabang AI) dan fake (palsu). Teknologi ini pertama kali populer pada tahun 2017 di forum Reddit, yaitu ketika seseorang membuat subreddit khusus yang menampilkan manipulasi wajah selebritas dalam video tertentu.
Sejak saat itu, deepfake berkembang pesat. Dari yang semula hanya sebatas eksperimen, kini telah bertransformasi menjadi senjata digital yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, mulai dari hiburan hingga propaganda politik.
Teknologi Deepfake
Deepfake dikembangkan dengan memanfaatkan teknologideep learning yang berbasis jaringan saraf tiruan (neural networks). Teknologi ini bekerja dengan mengenali dan mempelajari pola wajah, suara, hingga gerakan manusia sehingga hasil manipulasi terlihat sangat meyakinkan.
Dua algoritma utama yang digunakan adalah:
-
Generator, bertugas menciptakan gambar atau video palsu.
-
Discriminator, bertugas membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.
Kedua sistem tersebut berkompetisi dalam kerangka yang dikenal sebagaiGenerative Adversarial Network (GAN). Semakin lama proses pelatihan berlangsung, semakin realistis pula hasil deepfake yang dihasilkan. Tidak hanya dalam bentuk visual, teknologi ini juga dapat diaplikasikan pada audio. Dengan memanfaatkan sampel suara dalam jumlah yang memadai, AI mampu meniru intonasi, gaya bicara, bahkan emosi seseorang. Perpaduan antara visual dan audio inilah yang menjadikan deepfake berbahaya karena hasilnya tampak begitu nyata dan meyakinkan.
Cara Kerja Deepfake
Secara teknis, pembuatan deepfake melibatkan beberapa tahap utama:
-
Pengumpulan data, berupa foto, video, atau audio dari target.
-
Pelatihan model AI, data diproses untuk mempelajari ekspresi wajah, pola suara, hingga gerakan tubuh.
-
Pemetaan wajah atau suara, AI mengganti elemen asli dalam video/audio dengan data target.
-
Penyempurnaan (refinement), hasil deepfake diuji berkali-kali agar semakin realistis.
Hasil akhirnya berupa konten digital yang tampak otentik, seolah-olah seseorang benar-benar melakukan atau mengucapkan sesuatu, padahal sebenarnya hal tersebut sepenuhnya palsu.
Tips Mendeteksi Deepfake
Meski terlihat realistis, deepfake tetap meninggalkan jejak digital yang bisa dikenali. Beberapa tips sederhana yang bisa digunakan masyarakat:
-
Perhatikan mata dan ekspresi wajah, video deepfake sering memperlihatkan kedipan mata yang tidak wajar atau ekspresi yang kaku.
-
Cek sinkronisasi bibir dan suara, sering kali suara tidak sepenuhnya sinkron dengan pergerakan bibir.
-
Amati pencahayaan dan bayangan, deepfake sering gagal menyatukan cahaya alami dengan wajah target.
-
Gunakan zoom, ketika diperbesar, detail wajah deepfake sering terlihat blur atau aneh.
-
Manfaatkan alat deteksi, beberapa platform seperti MIT Detect Fakes atau teknologi Verihubs Deepfake Detection di Indonesia bisa membantu mengenali manipulasi digital.
Kesadaran publik menjadi kunci. Semakin banyak orang yang paham tanda-tanda deepfake, semakin kecil peluang manipulasi itu menipu.
Upaya Mengatasi Deepfake
- Teknologi
Penerapan teknologi menjadi langkah penting dalam melawan risiko Deepfake. Dengan AI danmachine learning, sistem dapat mendeteksi tanda manipulasi dalam media digital dan menandai konten bermasalah sebelum menimbulkan dampak lebih besar. - Literasi Publik
Kesadaran masyarakat penting untuk mengenali dan memverifikasi konten. Edukasi literasi digital mendorong kebiasaan memeriksa sumber, melakukan verifikasi fakta, dan melaporkan konten mencurigakan. - Regulasi
Kerangka hukum menjadi penting untuk membatasi penyalahgunaan deepfake. Uni Eropa, misalnya, telah menerbitkan Undang-Undang AI dengan klasifikasi risiko yang mengatur penggunaan teknologi secara ketat. Di Indonesia, regulasi terkait deepfake diatur dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang melarang pembuatan data pribadi palsu dengan ancaman pidana (Pasal 66 jo. Pasal 68). Selain itu, KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) juga memuat ketentuan lebih luas, mulai dari penghinaan, pencemaran nama baik (Pasal 433, 434, 436 jo. Pasal 441), ujaran kebencian (Pasal 243), hingga pornografi (Pasal 407). KUHP baru ini menetapkan sanksi pidana dan/atau denda berdasarkan kategorisasi pelanggaran, sekaligus mereformulasi ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU ITE.
Waspada dan Bijak Menghadapi Deepfake!
Deepfake adalah bukti bahwa teknologi tidak selalu membawa manfaat. Dengan kecanggihan AI, teknologi ini mampu menciptakan konten palsu yang sulit dibedakan dari kenyataan. Dari kasus Sri Mulyani hingga penipuan global, deepfake menjadi ancaman nyata bagi keamanan, privasi, dan kepercayaan publik.
Masyarakat perlu lebih waspada, belajar mendeteksi tanda-tanda konten manipulatif, dan mendukung regulasi hukum yang ada. Dengan pemahaman yang baik, kita bisa mengurangi dampak negatif deepfake sekaligus menjaga ruang digital tetap sehat dan aman.