Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Pemakzulan

Memahami Pemakzulan dan 9 Penyebab Kepala Daerah Kehilangan Jabatan

Pemakzulan kembali ramai diperbincangkan setelah ribuan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan menuntut Bupati Sudewo lengser dari jabatannya. Unjuk rasa besar-besaran yang digelar pada Rabu (13/08) itu bahkan berujung kericuhan, gas air mata, dan puluhan warga luka-luka. Teriakan “Sudewo harus lengser!” menggema di alun-alun Pati, sementara di gedung DPRD, delapan fraksi sepakat menggunakan hak angket sebagai pintu masuk proses pemberhentian bupati.

Namun, Sudewo menolak untuk mundur secara sukarela. Ia menegaskan bahwa dirinya dipilih secara konstitusional melalui pilkada sehingga tidak bisa diberhentikan hanya karena desakan massa. Pernyataan ini pun memicu pertanyaan publik, apakah seorang bupati bisa dimakzulkan? Jika bisa, bagaimana mekanismenya?

Apa Itu Pemakzulan?

Pemakzulan berarti menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatan (baik secara paksa maupun sukarela), terutama dalam konteks seorang raja.

Dalam konteks hukum di Indonesia, kata “pemakzulan” tidak secara eksplisit digunakan dalam undang-undang. Namun, istilah yang berlaku adalah “pemberhentian kepala daerah” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi ketika publik menyebut “pemakzulan bupati”, sebenarnya yang dimaksud adalah mekanisme pemberhentian kepala daerah karena alasan tertentu.

Pemakzulan bukanlah proses sederhana. Ia bukan sekadar soal politik jalanan atau tuntutan massa, melainkan sebuah mekanisme konstitusional yang harus melalui jalur hukum dan politik di lembaga legislatif serta lembaga peradilan.

Apa Alasan Pemakzulan Kepala Daerah?

Dalam Pasal 78 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, terdapat sejumlah alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian atau pemakzulan kepala daerah. Beberapa di antaranya adalah:

    1. Berakhir masa jabatannya.

    2. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama enam bulan berturut-turut.

    3. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan.

    4. Tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah.

    5. Melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 76 ayat 1, kecuali beberapa poin tertentu

    6. Melakukan perbuatan tercela, yang dalam penjelasan undang-undang dicontohkan antara lain berjudi, mabuk, menggunakan atau mengedarkan narkoba, dan berzina.

    7. Diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang dirangkap oleh peraturan perundang-undangan.

    8. Menggunakan dokumen atau keterangan palsu sebagai syarat pencalonan, berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang.

    9. Mendapatkan sanksi pemberhentian.

Dengan kata lain, pemakzulan tidak bisa asal dilakukan hanya karena bupati tidak populer atau mengambil kebijakan yang tidak disukai publik. Harus ada bukti pelanggaran hukum, sumpah jabatan, atau larangan yang jelas.

Bagaimana Mekanisme Pemakzulan Bupati?

Pemberhentian kepala daerah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Proses ini dapat ditempuh melalui beberapa jalur, tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan.

  1. Usulan DPRD (Pasal 80)

    Jalur ini bersifat politis karena dimulai dari lembaga legislatif. DPRD dapat mengusulkan pemakzulan jika kepala daerah atau wakilnya terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak menjalankan kewajiban, melanggar larangan jabatan tertentu, atau melakukan perbuatan tercela seperti berjudi, mabuk, memakai narkoba, hingga zina.
    Usulan DPRD diputuskan lewat Rapat Paripurna (hadir minimal ¾ anggota, disetujui ⅔ dari yang hadir), lalu diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa. MA memiliki waktu 30 hari untuk memutuskan, dan putusannya bersifat final. Jika terbukti bersalah, DPRD mengusulkan pemberhentian kepada Presiden (untuk gubernur) atau Menteri (untuk bupati/wali kota), yang wajib menindaklanjuti paling lambat 30 hari.

  2. Kasus Tindak Pidana (Pasal 83)

    Jika kepala daerah terjerat tindak pidana berat seperti korupsi, terorisme, makar, kejahatan terhadap keamanan negara, atau kejahatan dengan ancaman minimal 5 tahun penjara, proses pemberhentiannya tidak memerlukan usulan DPRD. Dalam kondisi ini, Presiden atau Menteri dapat langsung memberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan. Bila putusan pengadilan inkrah menyatakan bersalah, pemberhentian otomatis menjadi tetap.

  3. Penggunaan Dokumen Palsu (Pasal 82)

    Apabila terbukti menggunakan dokumen atau keterangan palsu saat pencalonan, DPRD dapat melakukan penyelidikan melalui hak angket. Jika terbukti, usulan pemberhentian diajukan ke Presiden (untuk gubernur) atau Menteri melalui gubernur (untuk bupati/wali kota). Namun, jika DPRD tidak bergerak dalam waktu dua bulan, Pemerintah Pusat dapat mengambil alih pemeriksaan dan langsung memberhentikan kepala daerah bila terbukti.

  4. Jika DPRD Tidak Menjalankan Fungsi (Pasal 81)

    Dalam hal DPRD tidak melaksanakan kewenangannya, Pemerintah Pusat berhak mengambil alih proses, melakukan pemeriksaan, dan menyerahkannya ke Mahkamah Agung untuk mendapat putusan akhir.

Daftar Kepala Daerah yang Pernah Dimakzulkan

Beberapa kepala daerah sebelumnya juga pernah dimakzulkan, di antaranya:

  • Aceng Fikri, Bupati Garut (2013) – dimakzulkan karena pernikahan kilat yang dianggap mencoreng etika jabatan.

  • Siti Masitha, Wali Kota Tegal (2018) – diberhentikan karena kasus korupsi.

  • Ahmad Yantenglie, Bupati Katingan (2017) – dimakzulkan karena kasus perselingkuhan.

  • Faida, Bupati Jember (2020) – sempat diproses DPRD, namun pemakzulan ditolak MA.

Pemakzulan Bupati Pati, Mungkinkah?

Pertanyaan besarnya kini apakah Bupati Pati Sudewo benar-benar bisa dimakzulkan? Secara hukum, jawabannya mungkin saja, sepanjang DPRD dapat membuktikan bahwa ia melanggar sumpah jabatan atau larangan kepala daerah.

Fakta bahwa delapan fraksi di DPRD sepakat menggunakan hak angket menunjukkan tekanan politik sudah sangat kuat. Ditambah dengan demonstrasi ribuan warga, situasi ini bisa menjadi titik awal proses pemakzulan. Namun, hasil akhirnya tetap tergantung pada pembuktian di Mahkamah Agung.