Kepergian IGK Manila pada 18 Agustus 2025 meninggalkan duka mendalam bagi berbagai kalangan. Sosok yang akrab disapa Opa Manila ini tidak hanya dikenal sebagai purnawirawan jenderal TNI, tetapi juga tokoh olahraga, politisi, pendidik, sekaligus pendiri lembaga kajian publik. Sepanjang hidupnya, IGK Manila menunjukkan perhatian besar terhadap pembinaan generasi muda dengan keyakinan kuat bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas anak mudanya hari ini. Dedikasi dan pemikiran yang diwariskan membuat namanya dikenang luas, bukan semata sebagai seorang jenderal, melainkan juga sebagai sosok teladan yang memberi inspirasi lintas generasi.
Awal Perjalanan IGK Manila
IGK Manila atau I Gusti Kompyang Manila lahir di Singaraja, Bali, pada 8 Juli 1942. Masa kecilnya dijalani dalam keterbatasan, namun ia tumbuh dengan tekad kuat untuk bisa bersekolah setinggi-tingginya tanpa menjadi beban keluarga. Tekad itu akhirnya membawanya pada sebuah pilihan penting di awal 1960-an. Ia harus memilih antara melanjutkan pendidikan di Mataram, Lombok, atau menempuh jalan baru di Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah.
Dalambuku IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara karya Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso, disebutkan bahwa selepas SMA sebenarnya IGK Manila telah lolos seleksi masuk Kursus Dinas C (KDC) di bawah Departemen Dalam Negeri atau cikal bakal IPDN. Namun sebelum berangkat ke Lombok, seorang sahabatnya, I Made Krana datang membawa kabar bahwa mereka juga diterima di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Pilihan yang ia ambil kemudian menjadi awal dari perjalanan panjangnya di dunia militer.
Perjalanan Militer IGK Manila
Sebagai lulusan SMA jurusan Ilmu Budaya, jalur yang terbuka baginya memang hanya melalui Polisi Militer dengan fokus hukum militer. Di masa pendidikannya, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Raden Ayu Roro Endarni yang kelak mendampinginya sebagai istri. IGK Manila kemudian lulus dari AMN pada 1964 sebagai salah satu dari 15 perwira pertama di kecabangan Polisi Militer.
Kariernya sebagai prajurit muda dimulai di CPM Cilegon, lalu di Peleton I Batalyon Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Para di Ciluwer. Pada awal 1965, sebagai Letnan Dua, IGK Manila ikut dikirim ke perbatasan Malaysia dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia. IGK Manila ditempatkan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan bergabung dalam Detasemen CPM yang diperbantukan memperkuat empat brigade besar di wilayah tersebut.
Akhir 1966, IGK Manila dipanggil ke Jakarta. Situasi politik pasca-Peristiwa 1965 mengubah jalan hidupnya. Tak pernah ia bayangkan, seorang perwira muda berpangkat Letnan Dua dipercaya menjadi pengawal Presiden Sukarno. Tugas itu datang ketika IGK Manila bersama dua rekannya diperintahkan Letkol Noorman Sasono menjaga keamanan Presiden di Wisma Yaso pada awal 1967.
Pengalaman ini terasa baginya seperti takdir. Ia teringat masa taruna, ketika Presiden Sukarno datang ke AMN dan bertanya kepadanya, sebagai putra Bali ingin jadi apa setelah lulus. IGK Manila menjawab ingin jadi pengawal presiden. Saat itu Jenderal Ahmad Yani menertawakan jawabannya, karena pengawal presiden biasanya berpangkat kolonel. Namun, takdir berkata lain. Walau hanya bertugas 10 hari sebelum cuti menikah, IGK Manila sempat benar-benar menjadi pengawal Presiden Sukarno, beberapa bulan sebelum sang proklamator lengser.
Pada 1974, sebagai Mayor CPM, IGK Manila memilih jalur pendidik agar bisa melanjutkan sekolah staf dan komando. Ia pindah menjadi instruktur di Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdikpom) Cimahi. Delapan tahun kemudian pada 1982, ia memimpin Operasi Ganesha, yaitu misi penyelamatan gajah di Sumatera Selatan. Lebih dari 100 ekor gajah dipindahkan ke kawasan konservasi Lebong Hitam, Air Sugihan. Keberhasilan ini membuatnya dijuluki “Panglima Gajah” dan julukan yang juga mencerminkan kecintaannya pada alam.
Pada 1985, Manila dipercaya menjadi Komandan Pusdikpom. Dari sinilah ia mulai bersentuhan dengan dunia sepak bola, karena markas Pusdikpom sering dipakai sebagai tempat latihan tim PSSI. Kariernya di sepak bola makin dikenal setelah sukses mengantarkan PS ABRI menjuarai Piala Wira Malindo 1989.
Karier militernya terus menanjak. Pada 1993, ia menyandang bintang satu. Di tahun-tahun berikutnya, ia dipercaya memegang jabatan penting, seperti Kapomdam IV/Sriwijaya, Staf Ahli Panglima ABRI, hingga dikaryakan sebagai pejabat sipil. Ia pernah menjadi Ketua STPDN (1995–1998) dan Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan (1998–2000). Akhirnya, ia pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal TNI.
Kiprah IGK Manila di Dunia Olahraga
Nama IGK Manila kian dikenal publik lewat kiprahnya di dunia olahraga. Pada SEA Games 1991 di Manila, ia dipercaya sebagai Manajer Timnas Indonesia. Hasilnya, tim Garuda berhasil meraih medali emas dan merupakan prestasi yang baru terulang setelah lebih dari tiga dekade pada SEA Games 2023.
Tak hanya itu, ia juga berperan besar di level klub. Bersama Bandung Raya, ia menjuarai Liga Indonesia 1996. Kemudian bersama Persija Jakarta, ia membawa klub Macan Kemayoran juara Liga Indonesia 2001.
Selain sepak bola, IGK Manila juga berjasa membangkitkan wushu di Indonesia. Bersama praktisi Tai Chi, Mediteransyah Masnadi, ia mendirikan Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) pada 10 November 1992. Perannya bukan sekadar membesarkan cabang olahraga ini, tetapi juga menghapus stigma politik terhadap komunitas Tionghoa pasca-1965. Karena jasanya, ia dijuluki “Bapak Wushu Indonesia”.
Kiprah Politik IGK Manila
Pasca pensiun dari dunia militer, IGK Manila tidak serta-merta berhenti mengabdi pada bangsa. Ia kemudian bergabung dengan Partai NasDem dan dipercaya menjabat sebagai Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) NasDem. Di posisi ini, IGK Manila kembali pada jati dirinya sebagai seorang pendidik. Ia membimbing generasi muda agar memiliki integritas, disiplin, serta semangat nasionalisme yang kuat.
IGK Manila juga mendirikanSuryakanta Institute yang berfokus pada analisis berbasis data dan ilmu pengetahuan dengan tujuan memberikan kontribusi strategis dalam penyusunan serta pengembangan kebijakan publik yang berkualitas. Prinsip dasarnya adalah keyakinan bahwa kebijakan publik yang baik merupakan fondasi penting bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan berkelanjutan.
Kehadiran lembaga ini dapat dilihat sebagai salah satu warisan penting IGK Manila. Ia membuktikan bahwa dedikasinya tidak hanya terbatas pada dunia militer atau politik, melainkan juga meluas ke ranah intelektual. Dari sini, terlihat konsistensi IGK Manila dalam menjaga semangat nasionalisme sekaligus menyalurkannya melalui kerja pemikiran yang bermanfaat, baik bagi generasi sekarang maupun mendatang.
Warisan Abadi IGK Manila untuk Indonesia
Kepergian IGK Manila merupakan kehilangan besar bagi Indonesia, sebab warisan yang ia tinggalkan tidak berhenti pada catatan panjang prestasi di dunia militer, politik, maupun olahraga, melainkan juga menyatu dalam teladan hidup yang ia wujudkan melalui sikap disiplin, keberanian, dan kepedulian terhadap generasi muda. Ia menunjukkan bahwa pengabdian pada bangsa tidak mengenal batas waktu, baik saat mengabdi sebagai prajurit, membina kader politik, hingga mendirikan lembaga kajian untuk memperkuat tradisi intelektual di tanah air. Semua kiprah tersebut menjadikannya sosok yang patut dikenang, bukan hanya karena capaian-capaian besarnya, tetapi juga karena komitmennya membentuk generasi penerus yang berintegritas dan memiliki semangat nasionalisme yang kokoh.