Pada 13 Agustus 2025, puluhan ribu warga dari berbagai penjuru Pati memadati alun-alun dan ruas-ruas utama kota dalam gelombang protes yang menuntut Bupati Sudewo mengundurkan diri dari jabatannya. Suasana kota berubah menjadi lautan manusia yang membawa spanduk, poster, dan orasi yang mencerminkan puncak kekecewaan yang telah terakumulasi selama berbulan-bulan. Sejak awal tahun, berbagai kebijakan kontroversial yang dinilai memberatkan kehidupan masyarakat telah memicu gelombang ketegangan di berbagai lapisan sosial. Rangkaian persoalan ini perlahan membentuk arus perlawanan yang semakin besar, hingga akhirnya meledak menjadi aksi protes.
Awal Mula Masalah Demo Pati
Akar persoalan demo pati bermula dari serangkaian kebijakan Bupati Sudewo yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Dilantik pada 20 Februari 2025 setelah meraih 53,54 persen suara dalam Pilkada Pati, Sudewo awalnya diharapkan membawa angin perubahan positif. Namun, kurang dari enam bulan setelah menjabat, berbagai kebijakan justru memicu kontroversi.
Mulai dari kenaikan pajak hingga perubahan sistem pendidikan, langkah-langkah yang diambil memantik protes di berbagai kalangan. Situasi memanas ketika Sudewo mengeluarkan pernyataan yang terkesan menantang warga untuk berdemo dengan ucapannya, “50 ribu massa silakan,” yang kemudian menjadi bensin penyulut kemarahan publik.
Bagi banyak warga, kebijakan tersebut tidak hanya menambah beban ekonomi, tetapi juga mencerminkan sikap yang dianggap arogan. Video pernyataan itu cepat menyebar di media sosial seperti TikTok dan Twitter, memperburuk citra sang bupati. Dalam waktu singkat, Aliansi Masyarakat Pati Bersatu yang dipimpin koordinator seperti Teguh Istiyanto berhasil menggalang dukungan luas. Sejak 1 Agustus, donasi terus mengalir, mulai dari air mineral, makanan, hingga hasil pertanian seperti pisang dan semangka, yang menunjukkan kuatnya solidaritas warga menjelang aksi besar demo pati pada 13 Agustus 2025.
Kebijakan Kontroversial di Balik Demo Pati
1. Rencana Kenaikan Tarif PBB-P2 hingga 250 Persen
Kebijakan paling memicu kemarahan adalah rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Rencana ini disepakati dalam rapat bersama para camat dan Paguyuban Solidaritas Kepala dan Perangkat Desa Kabupaten Pati (Pasopati) pada 18 Mei 2025.
Sudewo beralasan, PBB-P2 di Pati sudah 14 tahun tidak pernah naik. Ia menilai penyesuaian tarif ini penting untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) yang hanya menyumbang 14 persen dari APBD, sementara belanja pegawai mencapai 47 persen. Kondisi itu membuat ruang anggaran untuk pembangunan sangat kecil. Kenaikan tarif ini juga didasari penghitungan ulang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di wilayah tersebut.
Namun, di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, rencana ini dinilai terlalu memberatkan. Gelombang protes pun merebak sehingga memaksa Sudewo memberi klarifikasi bahwa kenaikan tidak berlaku merata untuk semua golongan tarif. Meski begitu, kemarahan warga terlanjur membesar. Akhirnya pada 9 Agustus 2025, Sudewomembatalkan kenaikan tersebut melalui surat edaran resmi, mengembalikan tarif PBB-P2 ke aturan tahun sebelumnya.
2. Mengubah Hari Sekolah Menjadi Lima Hari
Kebijakan lain yang memicu penolakan datang dari sektor pendidikan. Sudewo mengubah ketentuan enam hari sekolah menjadi lima hari mulai tahun ajaran 2025/2026.
Bagi masyarakat umum, ini mungkin terdengar sebagai langkah modernisasi pendidikan. Namun, bagi para santri yang mengikuti kegiatan TPQ atau madrasah diniyah di sore hari, perubahan ini menjadi masalah. Jam belajar yang dipadatkan membuat siswa pulang dalam keadaan lelah sehingga sulit mengikuti pendidikan agama.
Protes semakin menguat ketika rencana ini diiringi wacana regrouping sekolah, yaitu penggabungan dua sekolah menjadi satu. Kebijakan ini dinilai mengancam keberlangsungan pekerjaan para guru honorer karena penggabungan otomatis mengurangi jumlah tenaga pengajar yang dibutuhkan.
3. PHK Massal Karyawan RSUD dan Rekrutmen Baru
Dari sektor kesehatan, kebijakan yang menimbulkan kontroversi terjadi di RSUD RAA Soewondo. Dengan alasan efisiensi, sejumlah karyawan honorer yang telah lama mengabdi diberhentikan tanpa pesangon.
Ironisnya, setelah PHK tersebut, rumah sakit justru merekrut karyawan baru dengan alasan meningkatkan pelayanan. Langkah ini dipandang kontradiktif dan tidak adil, membuat publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan Sudewo.
4. Pembubaran Posko Donasi Aksi Demo
Menjelang aksi besar 13 Agustus 2025, warga mendirikan posko donasi di trotoar depan Kantor Bupati dan DPRD Pati. Mereka mengumpulkan air mineral, makanan, dan bantuan lain untuk mendukung aksi protes.
Namun, pada 1 Agustus 2025, Satpol PP membubarkan posko dan menyita ratusan karton air mineral. Insiden ini memicu adu mulut antara warga dan aparat. Barang-barang tersebut memang dikembalikan setelah warga mendatangi kantor Satpol PP, dan Sudewo meminta maaf sambil berdalih bahwa pembubaran dilakukan agar kegiatan kirab tahunan tidak terganggu. Meski begitu, insiden ini menambah daftar ketegangan antara warga dan pemerintah daerah.
5. Pernyataan Tantangan kepada Warga untuk Demo
Rencana demo besar-besaran menolak kenaikan PBB mendapat respons yang mengejutkan dari Bupati Sudewo. Dalam sebuah video pendek yang viral di media sosial, ia tampak menantang warga untuk mengerahkan massa sebanyak mungkin.
“Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan,” ucapnya dalam video tersebut, sambil menegaskan ia tidak akan mundur dari kebijakan menaikkan PBB-P2 meski didemo.
Pernyataan ini dianggap arogan dan memicu kemarahan publik. Tekanan yang datang dari berbagai pihak akhirnya membuat Sudewo meminta maaf pada 7 Agustus 2025, dengan alasan telah terjadi miskomunikasi dan tidak ada niat untuk menantang rakyatnya.
Alasan di Balik Kebijakan Kontroversial Demo Pati
Dalam pernyataannya kepadaCNN Indonesia, Sudewo menyebut bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pati hanya menyumbang 14 persen dari APBD, sementara belanja pegawai mencapai 47 persen. Kenaikan PBB dianggap sebagai cara untuk meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Untuk kebijakan lima harisekolah, Sudewo menyebut bahwa kebijakan lima hari sekolah adalah murni kesalahan internal Dinas Pendidikan Kabupaten Pati. Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan ini menunjukkan upaya Sudewo untuk meningkatkan efisiensi dan pendapatan daerah. Namun, kurangnya komunikasi publik dan sosialisasi membuat kebijakan-kebijakan ini terasa mendadak dan memicu penolakan.
Respons Bupati Sudewo Menghadapi Demo Pati
Menghadapi gelombang protes, respons awal Sudewo justru memperburuk situasi. Pernyataannya yang menantang warga untuk berdemo seperti yang terekam dalam video viral, dianggap arogan dan tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin yang mendengarkan aspirasi rakyat.
“Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan,” ujarnya, menegaskan bahwa ia tidak akan mundur meski didemo 50 ribu orang.
Pada 7 Agustus 2025, ia meminta maaf atas ucapannya dan menjelaskan bahwa tidak ada maksud untuk menantang warga. Ia juga membatalkan sejumlah kebijakan kontroversial, termasuk kenaikan PBB dan sistem lima hari sekolah. Saat menemui massa pada 13 Agustus, Sudewo kembali meminta maaf di depan Kantor Bupati Pati dan berjanji untuk berbuat lebih baik. Namun, respons ini tidak diterima baik oleh massa yang menyambutnya dengan lemparan botol dan sandal. Sudewo juga menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatannya, dengan alasan ia dipilih secarademokratis.