Ada yang menarik dari pelantikan Wakil Panglima TNI, Tandyo Budi Revita, oleh Presiden Prabowo Subianto pada Minggu (10 Agustus 2025) lalu. Secara legal-organisatoris, tidak ada yang salah dengan pelantikan tersebut. Posisi Wakil Panglima TNI memang ada dan seharusnya diisi oleh jenderal TNI tertentu. Jenderal Tandyo juga memiliki segudang prestasi. Pendidikan militer dan pengalaman penugasannya pun boleh dikatakan lengkap. Maka, dari sisi kapabilitas dan pengalaman, ia sangat pantas untuk menjabat Wakil Panglima TNI.
Namun, persoalannya ialah mengapa posisi yang sudah 25 tahun dibiarkan kosong kembali diaktifkan Prabowo?
Kegelisahan Prabowo
Sejak mendapat tawaran untuk menjadi Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo tentu sudah meramal dan yakin kalau ia akan menjadi presiden berikutnya. Posisi Menhan tidak hanya subur, tetapi juga strategis untuk menguasai republik ini. Sebagai negara demokrasi, tentu Indonesia secara normatif berada di tangan mayoritas warga. Namun, secara politik praktis, sejak merdeka, kekuatan Indonesia sebenarnya ada pada militer. Soekarno tumbang karena tidak menguasai militer (Cribb & Brown, 1995). Soeharto pun jatuh karena banyak jenderal militer meninggalkan dirinya (Hadiz a& Robison, 2014; Winters, 2011; Crouch, 2010).
Pasca kejatuhan Soeharto, Indonesia dikooptasi elit dan oligarki. Para pensiunan jenderal dan jenderal aktif paling berkuasa di dalam kolusi elit-oligarki ini (Winters, 2011, 2014; Mietzer, 2025; Hadiz 2004, 2010, 2012). Maka, menjadi Menhan adalah karpet merah untuk menguasai Indonesia, menjadi presiden. Tentu saja ada faktor lain seperti menjadi ketua partai tertentu dan memiliki basis elektabilitas yang cukup.
Atas dasar itu, Prabowo tidak mungkin menerima tawaran lain, kecuali Menhan. Selain itu, rasionalisasinya lebih dipercaya. Prabowo memiliki karir militer yang mentereng di Angkatan Darat. Jadi, dia tentu memiliki kapasitas untuk mengepalai Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Jokowi juga paham posisi krusial Menhan. Karena itu, ia menawarkan posisi itu kepada Prabowo dan tau Prabowo tidak akan menolak. Selain itu, Jokowi juga tahu kalau posisi Menhan akan memuluskan langkah Prabowo menjadi presiden berikutnya. Maka, untuk mengantisipasi dan membuat Menhan tetap di bawah kendali dirinya selama menjabat hingga pensiun, Jokowi memasang orang-orangnya di posisi strategis Kemhan.
Jokowi menaruh Agus Subiyanto di posisi Panglima TNI. Agus adalah mantan anggota geng Solo Jokowi saat masih menjabat Wali Kota Solo. Ia juga menaruh menantu Luhut Pandjaitan, tangan kanannya, Maruli Simanjuntak di kursi KASAD. Meskipun secara normatif, ketiga matra TNI memiliki kesetaraan kekuasaan, sejarah perpolitikan Indonesia menunjukkan bahwa TNI Angkatan Darat lebih berpengaruh secara politik (Emmerson, 1976; Mietzner, 2002, 2006, 2008).
Dengan menginstal dua orang dekatnya di posisi penting TNI, Jokowi menguasai TNI. Tidak hanya mengobok-obok tradisi kaderisasi TNI, Jokowi juga mengatur POLRI sesuka hati. Ia memasang Listyo Sigit Prabowo, mantan lingkaran geng Solo, semasa Jokowi menguasai Solo, sebagai Kapolri untuk menguasai POLRI. Kemunculan Parcok sebenarnya adalah imbas dari desain skenario ini.
Prabowo paham permainan neopatrimonial Jokowi. Karena itu, kegelisahan terbesar Prabowo ialah ia belum sepenuhnya mengendalikan TNI dan POLRI untuk agenda politiknya meskipun sudah menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ia menemukan celah untuk menguasai TNI melalui pelantikan Wakil Panglima kemarin, 10 Agustus. Dengan melantik Jenderal TNI Tandyo Budi Revita sebagai Wakil Panglima TNI, ia perlahan menguasai TNI. Mengapa demikian?
Neopatrimonialisme
Panglima TNI Agus adalah kaki tangan Jokowi. Karena itu, ia tidak bisa dikendalikan Prabowo tetapi juga tidak bisa diberhentikan Prabowo kecuali atas alasan berat tertentu sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004, Pasal 13. Di dalam kerumitan tersebut, satu-satunya cara ialah memasukkan orangnya sendiri ke dalam postur TNI. Posisi Wakil Panglima TNI yang tengah kosong adalah jalan keluar paling potensial.
Wakil Panglima Tandyo tidak perlu menjadi orang dekat Prabowo sebelum dilantik. Justru ketika dia bukan siapa-siapa bagi Prabowo, kamuflase meritokrasinya lebih canggih. Semakin implisit, semakin sulit ditebak. Pengangkatan Tandyo sebagai Wakil Panglima dapat dianggap sebagai prestasi profesional Tandyo karena Tandyo bukan teman dekat atau lingkaran orang dalam Prabowo.
Namun, di dalam kondisi demikian, Prabowo juga justru lebih mampu menjadikan Tandyo kaki tangannya di struktur tinggi TNI. Dengan memberikan posisi Wakil Panglima TNI kepada Tandyo tanpa jasa Tandyo apapun untuk meraih posisi tersebut, Tandyo akan memandang posisi tersebut sebagai murni kemurahan Prabowo, hadiah dari Prabowo untuk dirinya. Apalagi jika jenderal TNI yang berpangkat bintang tiga dan berkemampuan tidak hanya seorang Tandyo. Maka, ia akan merasa wajib secara moral untuk melakukan apapun untuk kepentingan Prabowo sebagai balasan terhadap pemberian Prabowo.
Strategi politik seperti ini disebut neopatrimonialisme dan sudah mengakar di dalam kultur masyarakat Indonesia ratusan tahun. Selama fase masyarakat feudal, relasi patrimonialisme terbentuk melalui pola penyewaan tanah oleh tuan tanah kepada warga biasa untuk menanamkan loyalitas dalam diri warga (Komara Yuda, 2019). Pola ini kemudian diadopsi penjajahan Belanda (Crouch, 1979).
Pasca kemerdekaan, elit politik menggunakan skema patrimonial ini untuk memikat bawahan dengan memberikan jabatan tertentu seolah sebagai pemberian pribadi. Infiltrasi hubungan tuan-bawahan privat ke dalam ranah profesional birokrasi semua lembaga negara mentransformasi relasi patrimonial ke dalam neopatrimonialisme (Bach, 2011).
Pola neopatrimonialisme ini sering dilakukan Jokowi saat mengobrak-abrik TNI dan POLRI dengan mekanisme pengangkatan pimpinan tinggi yang tidak sesuai tradisi kelembagaan TNI dan POLRI. Kapolri dan Panglima TNI sekarang adalah produk dari neopatrimonialisme Jokowi sehingga mereka lebih setia pada Jokowi daripada Prabowo. Ini akar kegelisahan Prabowo sekaligus alasan Prabowo melantik Wakil Panglima TNI. Prabowo ingin TNI berada di bawah kendali dirinya sebagai presiden, bukan pada mantan presiden.