Isu mengenai PPATK blokir e-wallet mulai ramai dibicarakan publik, terutama setelah langkah serupa pernah diterapkan pada rekening dormant atau rekening pasif beberapa waktu lalu. Kabar ini memicu rasa khawatir, mengingat e-wallet atau dompet digital sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari belanja online, membayar tagihan, hingga mengirim uang. Apakah benar PPATK akan memblokir e-wallet secara massal seperti rekening dormant kemarin?
PPATK dan Kebijakan Blokir E-Wallet
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memastikan bahwa wacana pemblokiran e-wallet tidak akan dilakukan secara massal sebagaimana kekhawatiran yang ramai dibicarakan publik belakangan ini. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut hanya berlaku dalam kondisi tertentu, terutama jika sebuah akun e-wallet terindikasi digunakan sebagai tempat penampungan dana hasil tindak pidana. Salah satu contoh yang paling sering ditemukan adalah praktik judi online, yang dalam beberapa tahun terakhir terus berkembang dan beradaptasi melalui berbagai platform pembayaran digital.
PPATK memiliki mekanisme pemantauan yang ketat untuk mendeteksi aliran dana mencurigakan. Artinya, tidak semua pengguna e-wallet akan terdampak kebijakan ini. Hanya akun-akun yang teridentifikasi terlibat dalam transaksi ilegal yang akan diproses lebih lanjut, termasuk melalui langkah pemblokiran sementara atau permanen, sesuai hasil pemeriksaan dan koordinasi dengan pihak berwenang.
Data PPATK menunjukkan bahwa penyalahgunaan e-wallet untuk aktivitas ilegal bukanlah isu sepele.Pada semester I-2025 saja, tercatat nilai deposito yang terkait judi online melalui dompet digital mencapai Rp 1,6 triliun, dengan total 12,6 juta kali transaksi. Angka tersebut memperlihatkan besarnya perputaran uang dari aktivitas terlarang ini, sekaligus mengungkap bagaimana e-wallet dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memuluskan jalannya transaksi ilegal dengan cepat dan relatif sulit terdeteksi tanpa sistem pengawasan yang mumpuni.
“Jika ada dana ilegal yang masuk ke e-wallet, pasti akan kami proses untuk melindungi pihak yang dirugikan,” tegas Ivan, pada Minggu (10/8/2025). Ia juga menekankan bahwa upaya ini merupakan bagian dari komitmen PPATK dalam menjaga integritas sistem keuangan nasional dan mencegah tindak pidana pencucian uang.
PPATK dan Rekening Dormant
Isu ini semakin panas karena masyarakat masih mengingat pemblokiran 122 juta rekening dormant yang dilakukan PPATK pada periode Mei–Juli 2025. Rekeningdormant adalah rekening yang tidak memiliki transaksi debit dalam kurun waktu365 hari (12 bulan berturut-turut).
Dari hasil analisis PPATK,ditemukan 1.155 rekening digunakan untuk berbagai tindak pidana dengan nilai total lebih dari Rp 1,15 triliun. Mayoritas kasus berkaitan dengan judi online dan korupsi, disusul kejahatan lain seperti pencucian uang, narkotika, penipuan, hingga perdagangan orang.
Namun, kebijakan ini sempat menuai kritik karena sebagian nasabah merasa dirugikan. Kini, PPATK telah membuka blokir sebagian besar rekening dormant tersebut, dan proses reaktivasi diserahkan kepada bank masing-masing.
Perbedaan PPATK dalam Menanganani E-Wallet dan Rekening Bank
Penanganan e-wallet memiliki mekanisme yang berbeda dibandingkan rekening bank konvensional.Mengutip dari CNBC Indonesia, Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono, menjelaskan bahwa pemantauan terhadap risiko e-wallet yang digunakan sebagai rekening penampung judi online masih terus dilakukan. Hingga saat ini, temuan saldo pada e-wallet umumnya relatif kecil dan sering kali bersifatdormant atau tidak menunjukkan aktivitas debit.
“E-wallet kan biasanya saldonya hanya Rp 10 ribu atau Rp 5 ribu. Karena target kita bukan pemainnya, melainkan menghentikan aliran depositnya,” ujar Danang.
Selain fokus pada e-wallet, PPATK juga mulai mewaspadai potensi penyalahgunaan aset kripto. Instrumen digital ini dinilai memiliki risiko tinggi karena bisa diperjualbelikan dengan cepat dan berpotensi menjadi sarana pencucian uang.
Mengapa E-Wallet Rawan Disalahgunakan?
Beberapa faktor yang membuat e-wallet rentan menjadi sarana tindak pidana antara lain:
1. Pendaftaran yang Relatif Mudah
Proses verifikasi sering kali tidak seketat perbankan, sehingga rawan digunakan pihak tak bertanggung jawab.
2. Nilai Transaksi Kecil tapi Masif
Transaksi berulang dalam nominal kecil dapat menyamarkan pergerakan dana ilegal.
3. Minimnya Kesadaran Pengguna
Banyak pemilik e-wallet tidak mengamankan akunnya dengan baik, sehingga rentan diretas atau digunakan tanpa izin.
4. Akses Lintas Platform
E-wallet dapat dihubungkan ke berbagai layanan, membuat aliran dana sulit dilacak jika berpindah dengan cepat.
Apa Arti Kebijakan PPATK bagi Pengguna?
Bagi pengguna aktif yang memanfaatkan e-wallet untuk keperluan sehari-hari, kabar ini tidak perlu menjadi alasan untuk panik. Kebijakan PPATK bersifat case by case, artinya hanya akun yang terindikasi tindak pidana yang akan diblokir.
Namun, ada beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan pengguna agar e-wallet tetap aman:
-
Gunakan e-wallet resmi dan terdaftar di OJK.
-
Aktifkan verifikasi ganda seperti PIN atau OTP.
-
Hindari menerima dana dari sumber yang tidak jelas.
-
Periksa riwayat transaksi secara rutin.
-
Segera laporkan aktivitas mencurigakan ke penyedia layanan dan pihak berwenang.
Isu PPATK blokir e-wallet memang menimbulkan kekhawatiran, terutama karena masyarakat masih mengingat kebijakan pemblokiran rekening dormant. Namun, faktanya, langkah ini tidak akan dilakukan secara massal dan hanya menargetkan akun-akun yang jelas terindikasi tindak pidana.
Masyarakat tidak perlu panik, tetapi penting untuk meningkatkan kewaspadaan. Gunakan e-wallet secara bijak, jaga keamanan akun, dan pastikan setiap transaksi memiliki tujuan yang jelas. Dengan begitu, kita dapat memanfaatkan kemudahan teknologi finansial tanpa terjebak risiko hukum atau keuangan.