Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Bendera One Piece, Luffy, One Piece, Jolly Roger, Eiichiro Oda

Bendera One Piece Sambut HUT Kemerdekaan RI, Kritik Sosial atau Ancaman Kedaulatan?

Suryakanta News – Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, media sosial diramaikan dengan fenomena unik. Warga mengibarkan bendera One Piece atauJolly Roger, simbol bajak laut dari serial anime Jepang karya Eiichiro Oda. Bendera bergambar tengkorak dan tulang bersilang dikibarkan di berbagai tempat, mulai dari rumah warga hingga kendaraan truk, dan menjadi sorotan publik serta elite politik nasional.

Fenomena ini disebut-sebut sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya atas berbagai problem sosial hingga hukum yang belum juga terselesaikan. Namun, di sisi lain, sejumlah pihak menyebut tindakan ini sebagai bentuk perlawanan yang berpotensi melanggar hukum.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengecam keras pengibaran bendera tersebut. Ia bahkan menyebutnya sebagai bagian dari tindakan makar.

“Oleh karena itu, bagian daripada makar mungkin malah itu. Nah, ini enggak boleh. Ini harus ditindak tegas,” kata Firman dalam pernyataan videonya di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (31/7/2025).

Sikap serupa disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, yang menyatakan bahwa tindakan yang mencederai kehormatan simbol negara dapat dikenakan konsekuensi hukum.

“Ini adalah upaya kami untuk melindungi martabat dan simbol negara,” tegasnya dalam keterangan persnya pada Jumat (1/8/2025).

Namun, tak sedikit kalangan akademik dan pengamat yang melihat gejala ini bukan sebagai ancaman kedaulatan, melainkan bentuk kritik sosial politik masyarakat. Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ade Marup Wirasenjaya, memandang bahwa bendera One Piece menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan.

“Selama bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih dan hanya diposisikan sebagai simbol kritik terhadap penyelenggaraan negara, saya tidak melihat itu menggerus kedaulatan,” jelas Ade yang dikutip dari laman resmi UMY pada Sabtu (2/8/2025).

Pandangan serupa datang dari kalangan muda. Influencer sekaligus mantan Ketua BEM UNPAD, Virdian Aurellio Hartono, menilai bahwa negara seharusnya lebih cemas terhadap akar persoalan sosial, bukan ekspresi rakyatnya.

“One Piece itu visualisasi mudah amanat konstitusi: anti penindasan, anti diskriminasi, anti penghapusan sejarah, anti kemiskinan,” cuitnya di Twitter (X), Minggu (3/8/2025).

Secara hukum, tidak ada regulasi yang spesifik melarang pengibaran bendera non-negara. Hal ini ditegaskan oleh pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, yang menyebut bahwa tindakan tersebut masuk dalam ruang kebebasan berekspresi.

“Ini sama halnya seperti mengibarkan bendera partai, klub bola, atau grup musik. Pengibar bendera One Piece tidak bisa diproses hukum,” jelasnya yang dikutip dari laman keterangan Tempo pada Ahad (3/8/2025).

Dalam konteks hukum nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 hanya mengatur larangan terhadap tindakan yang merusak atau melecehkan bendera Merah Putih, tanpa mencakup pelarangan pengibaran simbol atau bendera lain.

Fenomena ini pun membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai batas antara ekspresi dan subversi, antara kritik warga negara dan ancaman terhadap negara. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi, simbol-simbol fiksi seperti Jolly Roger tampaknya sedang mengambil peran baru—bukan sekadar ikon hiburan, melainkan medium kritik yang mudah dipahami dan menyentuh nurani kolektif masyarakat.