Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors
Tom Lembong Diperiksa Oleh Kejaksaan Agung

Kronologi Kasus Impor Gula yang Menjerat Tom Lembong hingga Divonis 4,5 Tahun Penjara

Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman4 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungankepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong. Vonis ini dijatuhkan atas dasar korupsi dalam kebijakan impor gula pada periode 2015–2016. Majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, meskipun tidak ditemukan bukti bahwa ia menerima keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.

KronologiKasus Impor Gula Tom Lembong

Awal Mula Permasalahan

Kasus korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong berawal dari kebijakan yang ia ambil pada tahun 2015, saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Pada 12 Mei 2015, rapat koordinasi antar kementerian menyimpulkan bahwa Indonesia tengah surplus gula sehingga tidak memerlukan impor. Namun, situasi faktual menunjukkan ketimpangan antara data dan realitas lapangan. Ahli pangan dari IPB,Dwi Andreas Santosa, menyebut bahwa stok gula nasional justru anjlok tajam dari 1,182 juta ton di akhir 2014 menjadi hanya 817 ribu ton pada akhir 2015, angka yang diperkirakan hanya cukup untuk tiga bulan kebutuhan nasional.

Penurunan ini diperparah oleh kemarau panjang akibat El Nino yang mendorong lonjakan harga gula dari Rp11.167 menjadi Rp13.427 hanya dalam waktu empat bulan. Menurut Dwi, jika pemerintah tidak segera mengimpor, kerugian konsumen bisa mencapai Rp 8 triliun. Dalam konteks tersebut, Tom Lembong memberikan persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton kepada PT AP. Keputusan yang diambil tanpa koordinasi dengan kementerian terkait dan tanpa didukung rekomendasi teknis.

Pada November hingga Desember 2015, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) selaku BUMN penugasan atas arahan Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis, menggandeng delapan perusahaan swasta yang sejatinya hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi guna mengolah gula kristal mentah (GKM) menjadi gula kristal putih. Gula hasil olahan tersebut kemudian dijual ke masyarakat melalui distributor yang terafiliasi denganharga Rp16.000 per kilogram melebihi harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp13.000 per kilogram tanpa pelaksanaan operasi pasar.

Dari transaksi ini, PT PPI menerima fee sebesar Rp 105 per kilogram dari delapan perusahaan pengolah yang kemudian dipersoalkan jaksa sebagai bagian dari kerugian negara. Meski kebijakan impor dilakukan di tengah ancaman krisis pasokan dan lonjakan harga, jaksa menilai prosedur yang ditempuh melanggar ketentuan terutama terkait bentuk gula yang diimpor dan pelibatan perusahaan swasta non-BUMN. Di sinilah tarik ulur terjadi antara upaya menyelamatkan konsumen dari potensi krisis dan tuduhan pelanggaran prosedur hukum dalam pengambilan keputusan darurat negara.

Ditetapkan sebagai tersangka

Penetapan tersangka terhadap Tom Lembong dimulai pada Oktober 2024, usai Kejaksaan Agung memeriksanya sebanyak empat kali, tepatnya pada tanggal 8, 16, 22, dan 29 Oktober. Dalam pemeriksaan terakhir, Tom ditetapkan sebagai tersangka bersama Charles Sitorus. Keduanya diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP. Penetapan ini dilakukan secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan atau pendampingan hukum yang layak menurut pengakuan Tom.

Ajukan Praperadilan

Menanggapi penetapan tersebut, pada 5 November 2024, Tom Lembongmengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kuasa hukumnya, Ari Yusuf Amir, menilai surat penetapan tersangka dan surat perintah penahanan yang dikeluarkan Kejagung tidak sah. Tim kuasa hukum mempersoalkan sejumlah kejanggalan dalam proses penetapan, termasuk tidak diberikannya hak menunjuk penasehat hukum sendiri, minimnya bukti permulaan, hingga dugaan penyidikan yang dilakukan secara sewenang-wenang.

Sidang Lanjutan Praperadilan

Dalam sidang lanjutan praperadilan yang digelar pada 20 November 2024, Tom Lembong akhirnya hadir secara virtual. Di hadapan majelis, ia mengaku tidak pernah mendapat penjelasan yang memadai mengenai status hukumnya. Selama empat kali pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung, Tom diperiksa sebagai saksi dan merasa tidak perlu didampingi penasihat hukum. Namun, tanpa pemberitahuan yang jelas, ia justru ditetapkan sebagai tersangka hanya tiga jam setelah pemeriksaan terakhir berakhir. “Tidak dijelaskan secara detail apa yang jadi masalah,” ujar Tom dalam sidang, dikutip dariTempo.

Pada 26 November 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan yang diajukan Tom. Putusan ini disampaikan oleh hakim tunggal Tumpanuli Marbun, yang menyatakan bahwa seluruh permohonan pemohon ditolak dan status tersangka tetap berlaku. Putusan tersebut kemudian dipermasalahkan oleh tim hukum Tom.

Tom Lembong dilaporkan ke Komisi Yudisial

Kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, mendatangi Komisi Yudisial pada 12 Desember 2024, Ia melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh hakim yang memimpin sidang tersebut. Selain itu, Zaid juga meminta Komisi Yudisial melakukan pemantauan ketat terhadap jalannya persidangan pokok perkara. Ia mengisyaratkan adanya kemungkinan bahwa proses hukum terhadap kliennya dipengaruhi oleh perbedaan posisi politik dengan pihak penguasa, sehingga diperlukan pengawasan ekstra untuk menjamin proses yang adil dan bebas dari penyimpangan.

Kasus terus Berkembang

Pada 20 Januari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka baru dari kalangan swasta yang diduga terlibat dalam skandal korupsi impor gula. Mereka dijerat dengan pasal yang sama seperti Tom Lembong, yakni Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor serta Pasal 55 KUHP.

Empat Hal yang Memberatkan

Dalam putusan akhir, majelis hakim mencatat empat hal yangmemberatkan Tom Lembong:

  1. Tom dinilai mengedepankan ekonomi kapitalis saat mengatur ketersediaan harga gula nasional, tanpa berpegang pada prinsip ekonomi Pancasila.
  2. Tom dianggap tidak menjalankan asas kepastian hukum dan mengabaikan peraturan yang berlaku.
  3. Tom dinilai tidak melaksanakan tugasnya secara akuntabel, bermanfaat, dan adil dalam mengatur kebijakan harga gula.
  4. Tom disebut mengabaikan hak masyarakat sebagai konsumen untuk mendapatkan gula dengan harga terjangkau.

Pertimbangan ini menjadi dasar non-ekonomis yang memperkuat putusan, meski tidak berkaitan langsung dengan keuntungan pribadi ataupun pelanggaran administratif secara eksplisit.